Jumat, 13 Juli 2012


                Tafsir ayat  shaum oleh mujiman stai bangko 2012
                            ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ
Tafsir Ayat Shaum QS. Al Baqarah Ayat 183

$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Artinya ; Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

Ya aiyuhal ladzina amanu kutiba ‘alaikumus shiyamu kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum la’allakum tattaquun.
Selanjutnya, penjelasannya sebagai berikut:
Ya aiyuha
- Ya aiyuna adalah kata yang digunakan untuk panggilan. Dalam bahasa Arab disebut harfun nida’ (kata panggilan). Ia sama dengan kata “Ya”. Atau dalam bahasa Indonesia, “Hai” atau “Wahai”.
- Dalam Al Qur’an, kita menjumpai penggunaan kata “Ya aiyuha”, seperti pada kata “Ya aiyuhan naas”, “Ya aiyuhal insan”, “Ya aiyuhan Nabiy”, “Ya aiyuhal mudats-tsir”, “Ya aiyuhal muzammil”, dan lainnya. Artinya sama, berupa panggilan kepada pihak-pihak tertentu.
- Biasanya, jika seseorang dipanggil, dia akan bersungguh-sungguh menyambut panggilan itu. Misalnya, dia dipanggil oleh kakak atau adiknya, orangtua, anak dan isterinya, shahabat, tetangga, guru, pak RT, pak RW, dan sebagainya. Semakin terhormat seseorang yang memanggil, semakin besar pula kesungguhannya. Panggilan seorang walikota, bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, bahkan seorang presiden, akan disambut dengan penuh kesungguhan.
- Jika terhadap panggilan manusia saja, kita bersungguh-sungguh menyambutnya. Lalu bagaimana jika yang memanggil adalah Allah? Dia Pencipta langit dan bumi, pemilik alam semesta, pengatur alam seluruhnya, pemberi kehidupan, penentu kematian, kerajaan-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, di Tangan-Nya ditentukan nasib setiap walikota, bupati, menteri, gubernur, presiden, jendral-jendral, George Bush, Vladimir Putin, Hitler, Napoleon, Jengis Khan, Kaisar Nero, Kisra Persi, Fir’aun, Hamman, dan sebagainya. Kira-kira, bagaimana respon kita ketika dipanggil oleh Allah?
- Umumnya manusia sangat bersungguh-sungguh menyambut panggilan para pejabat yang mulia. Tetapi mereka tidak serius ketika menyambut panggilan Allah. “Para pejabat kan jelas orangnya, jelas pengaruhnya, dan bisa ngasih kita duit, kalau hatinya suka ke kita. Sementara Allah tidak terlihat, jadi bagaimana akan serius menyambut panggilan-Nya?” begitu alasan di hati mereka, meskipun lisan tidak berani mengucapkannya.
- Para Shahabat radhiyallahu ‘anhu kalau mendengar panggilan Allah, mereka segera berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (kami sambut panggilan-Mu ya Allah). Begitu pula kalau mereka dipanggil oleh Rasulullah, mereka menjawab, “Labbaik ya Rasulallah!” Mereka meninggikan panggilan Allah dan Rasul-Nya di atas semua panggilan yang lainnya.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
Alladzina amanu
- Artinya: “Orang-orang yang beriman.” Sebenarnya lebih tepat disebut: “Orang-orang yang telah mengimani.” Kata ‘amanu’ adalah fi’il madhi, kata kerja yang telah lalu; jadi lebih tepat disebut “telah mengimani”. Kalau subyeknya tunggal, menjadi ‘amana’.
- Dalam Al Qur’an sangat sering dipakai perkataan, “Ya aiyuhal ladzina amanu”. Orang-orang beriman selalu disebut secara jama’ (kolektif). Tidak pernah sekali pun Al Qur’an mengatakan, “Ya aiyuhal mukmin” (wahai seorang Mukmin). Atau tidak pernah dikatakan, “Ya aiyuhal ladzi amana” (wahai satu orang yang mengimani). Selalu dikatakan, “Ya aiyuhal ladzina amanuu” (wahai orang-orang yang beriman). Hal ini mengandung hikmah, bahwa din Islam adalah agama kolektif, agama kebersamaan, bukan agama individu, bukan agama egoisme, bukan agama ta’ashub golongan. Ummat Islam adalah Ummatan Wahidatan (Ummat yang satu), bukan Ummat yang terpecah-belah, atau tersegmentasi menjadi berbagai golongan.
- Banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk bersatu padu, menjalin Ukhuwwah Islamiyyah, tidak berpecah-belah dalam agama. Salah satu yang sering dibahas, adalah wasiat Allah kepada para Nabi-nabi dan juga kepada Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam. Bunyi wasiatnya, “An aqimud din wa laa tatafarraquu fihi” (tegakkanlah agama ini dan janganlah kalian berpecah-belah di dalamnya. As Syuraa: 13).
- Sebagian kaum Muslimin ada yang berdakwah dengan membawakan “hadits 73 golongan”. Ummat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan masuk neraka, dan 1 golongan selamat. Hadits ini sangat masyhur, tetapi cara memahaminya seringkali salah. Sebenarnya, hadits itu bermakna khabar (berita), bahwa Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam mengabarkan, kelak Ummatnya akan berpecah-belah demikian-demikian. Namun oleh sebagian orang, hadits itu justru dipahami sebagai perintah untuk berpecah-belah, menghancurkan persatuan Islam, mengobarkan pertikaian di antara sesama Muslim, terus kembangkan permusuhan dalam diri Ummat. Cara mereka berdakwah mencerminkan pemahaman mereka. Makna hadits itu adalah khabar tentang perpecahan, tetapi aplikasinya justru membuat perpecahan sebanyak-banyaknya. Padahal agama para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam ditegakkan di atas manhaj persatuan, tetapi mereka malah bersuka ria di atas perpecahan. Dari sisi sudah tampak kesesatan jalan itu. Na’udzubillah wa na’udzubillah.
- Siapapun yang membangun agamanya di atas individualisme, egoisme, fanatik golongan, dan tidak kembali kepada asas semula, yaitu persatuan di antara kaum Muslimin, mereka akan tersesat dan dikalahkan. Lihat saja, dalam Al Qur’an Allah selalu memanggil Ummat Islam dengan “Ya aiyuhal ladzina amanuu” (wahai orang-orang yang beriman), bukan “Ya aiyuhal ladzi amana” (wahai satu orang yang beriman). Pemahaman di atas semangat perpecahan itu pasti tidak akan matching dengan konsep dasar agama ini, selamanya. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
- Dalam sebagian literatur disebutkan, bahwa perintah Shiyam Ramadhan pertama kali turun pada tahun 2 Hijriyah. Dalam masa 13 tahun Ummat Islam di Makkah, perintah Shiyam Ramadhan belum diturunkan.
- Pada dasarnya, perintah Shiyam Ramadhan menuntut landasan keimanan, sebab kewajiban ini memang tidak ringan. Dalam Rukun Islam, Shiyam Ramadhan menempati posisi ke-4 setelah Syahadat, Shalat, dan Zakat. Tidak dibenarkan seseorang menjalankan Shiyam Ramadhan secara penuh, tetapi dirinya sendiri meninggalkan Shalat Lima Waktu dan kewajiban Zakat. Kecuali bagi anak-anak yang baru belajar puasa, sekedar berlatih menahan makan dan minum.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
Kutiba ‘alaikum
- Artinya: “Telah diwajibkan atas kalian.” Arti asal dari kata ‘kutiba’ sebenarnya: Telah dituliskan! Dari kata ka-ta-ba yang berarti menulis. Kutiba adalah bentuk pasif dari kata ka-ta-ba, sehingga maknanya ‘dituliskan’. (Kalau dalam bahasa Indonesia, kutiba = aku datang. Sekedar humor!).
- Para ahli tafsir telah sepakat, bahwa kata ‘kutiba’ artinya adalah diwajibkan atau difardhukan. Sebagai ibadah wajib, sebagaimana rumus umumnya, jika dikerjakan mendapat pahala besar, jika ditinggalkan berdosa. Shiyam Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang mampu mengerjakannya.
- Ada beberapa ayat dalam Surat Al Baqarah yang mirip bentuk kalimatnya dengan ayat Shaum ini. Dalam ayat 178 disebutkan: “Kutiba ‘alaikumul qishash fil qatla” (diwajibkan atas kalian al qishash dalam pembunuhan); dalam ayat 180: “Kutiba ‘alaikum idza hadhara ahadakumul mautu in taraka khaira, al washiyah” [diwajibkan atas kalian jika datang (tanda-tanda) kematian kepada salah satu dari kalian, yaitu menyampaikan washiyat, jika dia meninggalkan suatu kebaikan (harta benda yang banyak)]; dalam ayat 216: “Kutiba ‘alaikumul qitalu wa huwa kurhul lakum” (diwajibkan atas kalian berperang, sedangkan berperang itu tidak kalian sukai). Bahkan sejatinya, dalam ayat-ayat Surat Al Baqarah ini adalah “rangkaian kutiba”, sebab berturut-turut disebutkan ayat-ayat tentang kewajiban, meskipun terpisah oleh beberapa ayat lainnya. Ayat Shaum termasuk di dalamnya (ayat 183). Singkat kata, kutiba itu artinya diwajibkan/difardhukan.
- Adapun kalimat ‘alaikum kembali kepada orang-orang beriman.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
As shiyamu
- As shiyamu adalah bentuk jama’ (plural) dari kata as shaumu.
- Dalam ayat di atas digunakan kata as shiyamu, bukan shaumu. Memang di bulan Ramadhan terdapat banyak puasa, Ummat Islam berpuasa sebulan penuh, bukan hanya sehari puasa; dan yang berpuasa itu seluruh kaum Muslimin di muka bumi, bukan hanya satu dua orang, atau sekelompok orang saja.
- Kata shaum menurut para ulama maknanya al imsak (menahan diri). Hal ini sama dengan istilah waktu imsak yang sering kita dengar, yaitu waktu 10 atau 15 menit menahan makan-minum sebelum adzan Shubuh. Sama-sama memakai kata al imsak yang berarti menahan diri.
- Kemudian coba perhatikan lagi, ayat tersebut berbunyi, “Kutiba ‘alaikumus shiyamu”, bukan “Kutiba ‘alaikum shiyamun”. Sebelum kata shiyamu terdapat alif-lam. Hal ini disebut ismun ma’rifah, yaitu kata benda yang bersifat tertentu. Kalau disebut “as shiyamu” maka puasa yang dimaksud sudah tertentu, sudah dimaklumi, jelas maksudnya. Tetapi kalau “shiyamun”, maka puasa itu bersifat umum, general, puasa apa saja, baik di bulan Ramadhan atau di luarnya. Maka alif-lam pada “as shiyamu” itu artinya adalah puasa tertentu, sudah pasti maksudnya, sudah nyata diferensiasinya, yaitu: Puasa di bulan Ramadhan. Singkat kata, puasa yang diwajibkan kepada orang-orang beriman ialah puasa di bulan Ramadhan, bukan selainnya.
- Memang, selain puasa Ramadhan ada juga puasa yang diwajibkan, yaitu: Puasa qadha untuk mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan; dan puasa nadzar. Misalnya ada seseorang yang nadzar akan berpuasa 7 hari jika lulus ujian, maka dia wajib menunaikan puasa itu, tidak boleh ditinggalkan.
- Wallahu a’lam bisshawaab.

Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum
- Artinya, “Seperti yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian.”
- Kewajiban puasa bukan hanya ditetapkan atas kaum Muslimin, tetapi juga atas kaum-kaum terdahulu. Hal ini mengandung makna, bahwa kewajiban puasa bersifat universal terhadap orang-orang beriman di setiap jaman.
- Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Dan telah diriwayatkan bahwa as shiyam ini pada mulanya (pada awal Islam) seperti keadaan pada Ummat-ummat sebelum kita, yaitu tiga hari puasa setiap bulannya. Dari Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas, dari Atha’, Qatadah dan Dhahak, dari Muzahim dan dia menambahkan: ‘Tidak berhenti kewajiban ini (puasa setiap bulan 3 hari) sejak jamannya Nuh ‘alaihissalam sampai Allah menghapuskan hal itu dengan shaum di bulan Ramadhan.”
- Di jaman awal Islam, perintah puasa ialah 3 hari setiap bulan. Kewajiban shiyam Ummat-ummat terdahulu juga seperti itu. Dalam riwayat dikatakan, Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash Ra. telah bersumpah dirinya akan puasa setiap hari dan bangun sepanjang malam. Ketika mendengar hal itu, Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam menasehati Abdullah, “Dan sesungguhnya cukup bagimu untuk berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, karena sesungguhnya bagimu (dan bagi Ummat Islam seluruhnya) setiap kebaikan itu dilipat-gandakan sepuluh kali, maka (jika setiap bulan puasa tiga hari) yang demikian itu sama dengan puasa setahun penuh.” (HR. Bukhari-Muslim). Penjelasannya: 1 kebaikan dilipatgandakan 10 kali; 1 hari puasa sama dengan 10 hari puasa; 3 hari puasa sama dengan puasa 30 hari (sebulan); kalau setiap bulan kontinue puasa 3 hari, otomatis telah puasa setahun penuh.
- Kewajiban puasa bukan hanya bagi Ummat Islam, tetapi juga Ummat-ummat terdahulu. Hal ini mengandung hikmah, bahwa beban yang kita tanggung dalam puasa bersifat universal, dipikulkan kepada semua pundak orang-orang beriman di setiap jaman dan generasi. Bahkan sampai saat ini kaum Nashrani dan Yahudi pun masih menunaikan puasa, terlepas perbedaan tatacara berpuasanya. Hingga di antara mereka ada yang sungguh-sungguh menunaikan puasa.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
La’allakum tattaqun
- Artinya, “Agar kalian bertakwa.”
- Kalimat yang digunakan “La’allakum tattaqun” (agar kalian senantiasa berbuat takwa) bukan “La’alla an takunal muttaqun” (agar kalian menjadi orang yang bertakwa). Mungkin maknanya, ketakwaan itu merupakan perbuatan yang ditunaikan secara terus-menerus, tanpa mengenal istilah akhir. Bukan setelah seseorang meraih gelar Muttaqun (orang bertakwa), lalu dia meninggalkan perbuatan takwa. Seperti seseorang yang terus belajar tanpa henti, tidak mengenal istilah tamat dalam belajar. Tetapi ada juga para sarjana yang seketika berhenti belajar, setelah meraih gelar sarjana.
- Takwa menurut pengertian yang populer ialah: “Mengerjakan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya.” Takwa dengan pengertian seperti ini tidak akan mampu dikerjakan oleh siapapun, selain hanya oleh Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam.
- Kata takwa berasal dari taqa, yang artinya takut. Bahkan kata ‘takut’ dalam bahasa Indonesia sebenarnya adalah serapan dari kata ‘taqa’ ini. Takwallah artinya adalah takut kepada Allah. Seseorang disebut takwa jika mau mengerjakan perintah-perintah Allah karena takut berdosa jika tidak mengerjakannya; dan mau menjauhi larangan-larangan Allah, karena takut berdosa dengan mengerjakannya. Perintah dikerjakan karena takut kepada Allah; larangan dijauhi juga karena takut kepada Allah. Itulah takwa.
- Kata “la’allakum” merupakan jaminan bahwa puasa yang kita tunaikan di bulan Ramadhan benar-benar akan menghasilkan karakter takwa. Pihak yang menjamin kepastian hasil itu adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri. Pertanyaannya, mengapa setelah Ummat Islam banyak berpuasa, mereka tidak kunjung bertakwa? Tentunya, puasa yang berkualitas yang akan menuntun ke arah terbentuknya karakter takwa itu. Ia seperti riwayat yang disebutkan, “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala, maka diampunkan baginya dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari-Muslim). Puasa yang didasari iman dan kesungguhan itulah yang diharapkan akan membentuk karakter insan bertakwa.
- Takwa sendiri sangat banyak keutamaannya. Dalam Surat At Thalaaq ayat 2-4, disebutkan 3 keutamaan takwa, yaitu: (1) Diberi jalan keluar dari kesulitannya; (2) Diberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka; (3) Diberi kemudahan dalam setiap urusan.
- Puasa Rmadhan merupakan wahana yang disediakan oleh Allah untuk memperbaiki keadaan ruhiyah manusia di muka bumi. Seharusnya, setelah shiyam Ramadahan, para sha’imin dan sha’imat meraih karakter takwa, sehingga hidupnya dipenuhi kebaikan-kebaikan. Tetapi jika telah berlalu bulan Ramdahan setiap tahun, namun perubahan baik belum juga terjadi, berarti kualitas shiyam yang kita jalani masih jauh dari harapan. Ia baru shiyam dalam makna sebagai tradisi/kebiasaan, bukan sebuah thariqah (jalan) untuk meraih ridha-Nya.
- Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperbaiki keadaan kaum Muslimin, menolong mereka dalam menunaikan ibadah Ramadhan, memberi kemudahan urusan, memberi kelapangan rizki, dan menganugerahkan perbaikan hidup secara hakiki. Amin Allahumma amin.

Asbabun Nuzul Shaum Ramadhan
Asbabun nuzul Shaum Ramadhan atau sebab-sebab turunnya ayat tentangkewajiban shaum Ramadhan tersebut, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dariMu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu, berkata, "Sesungguhnya RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam Ketika sampai di Madinah (hijrah) beliaushaum di hari Asysyura dan tiga hari setiap bulan".Waktu itu umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallammelaksanakan shaum wajib tiga hari setiap bulannya. Setelah hijrah keMadinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi di situ shaum pada tanggal10 Muharram. Lalu beliau bertanya tentang sebab musabab mereka shaumpada hari tersebut. Orang-orang Yahudi itu menyatakan bahwa pada haritersebut Allah telah menyelamatkan Nabi Musa Alaihis Salam dan kaumnyadari serangan Fir'aun. Oleh karena itu Nabi Musa Alaihis Salammelaksanakan shaum pada tanggal 10 Muharram sebagai tanda syukur kepadaAllah.Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengulas keterangan mereka itudengan menyatakan, “Sesungguhnya kami (umat Islam) ada lah lebih berhak  atas Nabi Musa dibanding kalian”.
Lalu beliau melaksanakan shaum padatanggal 10 Muharram dan memerintahkan seluruh umat Islam supaya shaumpada tanggal tersebut.Beberapa waktu kemudian, pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijriyah, AllahMewajibkan shaum Ramadhan dengan menurunkan ayat 183-184 dari suratAl-Baqarah. Lalu, setelah itu, maka shaum tanggal 10 Muharram dan shaumtiga hari setiap bulannya berubah status menjadi shaum tambahan yangdianjurkan atau sunah.

Dalil kewajiban shaum.
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Siapa saja di antara kalian yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah. (QS al-Baqarah [2]: 185).
Dalil shaum juga didasarkan pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang menyatakan:
«اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهاَدَةِ اَنْ لاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; beribadah haji; dan shaum Ramadhan.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Shaum wajib Bagi yang Balig dan Berakal
Karena itu, secara pasti shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah balig dan berakal. Dalam hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk berpuasa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ»

Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga orang: dari anak kecil hingga balig; dari orang yang tidur hingga dia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras. (HR Abu Dawud).

Wanita Haid dan Nifas Tidak Wajib Puasa
Wanita haid dan nifas juga tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka adalah tidak sah. Jika mereka telah suci dari haid maka mereka wajib meng-qadha’ puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«فِي الْحَيْضِ كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ»

Karena haid, kami telah diperintahkan untuk meng-qadha’ shaum, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ?
Siapa saja yang tidak kuasa untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu, seperti orang yang sudah sangat tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum baginya sangat berat, lalu orang yang sakit yang penyakitnya tidak mungkin disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib untuk berpuasa; tetapi mereka wajib untuk membayar fidyahsebagai gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu hal yang berat/kesempitan bagi kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).
Allah SWT juga berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Bagi orang-orang yang menanggung beban berat dalam berpuasa, mereka wajib memberikan fidyah, yakni memberi makan orang miskin(QS al-Baqarah [2]: 184).




Ada juga hadis penuturan Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«وَمَنْ اَدْرَكَهُ الْكِبَرُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضاَنَ فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّ مِنْ قَمْحٍ»
Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut, lalu dia tidak kuasa untuk melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk mengeluarkan satu mud gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Ibn Umar ra. juga menuturkan hadis:
«اِذَا ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ اَطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا»
Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum, hendaknya ia memberikan makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Dari Anas ra. juga dikatakan:
«أَنَّهُ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ وَفاَتِهِ فَافْطَرَ وَاَطْعَمَ»
Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum sepanjang tahun sebelum wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang miskin. 
(HR ath-Thabrani dan al-Haitasmi).

Siapa Yang diwajibkan Qodho Puasa ?
Jika seseorang tidak kuasa untuk berpuasa karena sakit dan ia khawatir sakitnya bertambah parah, ia juga tidak wajib untuk berpuasa, karena di dalamnya ada rasa berat sehingga dia boleh berbuka. Kemudian, jika dia sembuh maka dia wajib untuk meng-qadha’-nya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia mengganti puasanya pada hari yang lain sejumlah yang ditinggalkannya. (QS al-Baqarah [2]: 184).
Jika seseorang sedang berpuasa, lalu ia jatuh sakit, ia boleh berbuka, karena keadaan sakit memang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.

Bagaimana Shaum Bagi yang Safar (melakukan Perjalanan ) ?
Sementara itu, berkaitan dengan seorang musafir, jika safar yang dilakukannya tidak mencapai empat barid atau 80 kilometer, ia wajib tetap berpuasa; ia tidak boleh berbuka. Alasannya, karena safar/perjalanan yang menghasilkan adanya rukhshah(keringanan) untuk berbuka adalah safar syar‘i (bukan semata-mata safar, peny.), yakni empat barid, yang setara dengan 80 km. Jika seorang musafir melakukan safar sejauh 80 km atau lebih maka ia boleh untuk tetap berpuasa dan boleh juga berbuka. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:
`
«اِنَّ حَمْزَةَ اِبْنِ عَمْرُوْ اْلاَسْلَمِي قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَأَصُوْمُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَاِنْ شِئْتَ فَاَفْطِرْ»
Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Islami pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, “Perlukah aku berpuasa di dalam perjalanan?” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau mau, berpuasalah. Jika engkau mau, berbukalah.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ashab as-Sunan).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar