Tafsir ayat shaum oleh mujiman stai bangko 2012
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÊÈ
Tafsir Ayat
Shaum QS. Al Baqarah Ayat 183
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya ; Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,
Ya aiyuhal ladzina amanu kutiba
‘alaikumus shiyamu kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum la’allakum tattaquun.
Selanjutnya, penjelasannya sebagai berikut:
Ya aiyuha
- Ya aiyuna adalah kata yang digunakan untuk
panggilan. Dalam bahasa Arab disebut harfun nida’ (kata panggilan). Ia sama
dengan kata “Ya”. Atau dalam bahasa Indonesia, “Hai” atau “Wahai”.
- Dalam Al Qur’an, kita menjumpai penggunaan
kata “Ya aiyuha”, seperti pada kata “Ya aiyuhan naas”, “Ya aiyuhal insan”, “Ya
aiyuhan Nabiy”, “Ya aiyuhal mudats-tsir”, “Ya aiyuhal muzammil”, dan lainnya.
Artinya sama, berupa panggilan kepada pihak-pihak tertentu.
- Biasanya, jika seseorang dipanggil, dia
akan bersungguh-sungguh menyambut panggilan itu. Misalnya, dia dipanggil oleh
kakak atau adiknya, orangtua, anak dan isterinya, shahabat, tetangga, guru, pak
RT, pak RW, dan sebagainya. Semakin terhormat seseorang yang memanggil, semakin
besar pula kesungguhannya. Panggilan seorang walikota, bupati, gubernur,
menteri, anggota DPR, bahkan seorang presiden, akan disambut dengan penuh
kesungguhan.
- Jika terhadap panggilan manusia saja, kita bersungguh-sungguh menyambutnya. Lalu bagaimana jika yang memanggil adalah Allah? Dia Pencipta langit dan bumi, pemilik alam semesta, pengatur alam seluruhnya, pemberi kehidupan, penentu kematian, kerajaan-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, di Tangan-Nya ditentukan nasib setiap walikota, bupati, menteri, gubernur, presiden, jendral-jendral, George Bush, Vladimir Putin, Hitler, Napoleon, Jengis Khan, Kaisar Nero, Kisra Persi, Fir’aun, Hamman, dan sebagainya. Kira-kira, bagaimana respon kita ketika dipanggil oleh Allah?
- Jika terhadap panggilan manusia saja, kita bersungguh-sungguh menyambutnya. Lalu bagaimana jika yang memanggil adalah Allah? Dia Pencipta langit dan bumi, pemilik alam semesta, pengatur alam seluruhnya, pemberi kehidupan, penentu kematian, kerajaan-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, di Tangan-Nya ditentukan nasib setiap walikota, bupati, menteri, gubernur, presiden, jendral-jendral, George Bush, Vladimir Putin, Hitler, Napoleon, Jengis Khan, Kaisar Nero, Kisra Persi, Fir’aun, Hamman, dan sebagainya. Kira-kira, bagaimana respon kita ketika dipanggil oleh Allah?
- Umumnya manusia sangat bersungguh-sungguh
menyambut panggilan para pejabat yang mulia. Tetapi mereka tidak serius ketika
menyambut panggilan Allah. “Para pejabat kan jelas orangnya, jelas pengaruhnya,
dan bisa ngasih kita duit, kalau hatinya suka ke kita. Sementara Allah tidak
terlihat, jadi bagaimana akan serius menyambut panggilan-Nya?” begitu alasan di
hati mereka, meskipun lisan tidak berani mengucapkannya.
- Para Shahabat radhiyallahu ‘anhu kalau
mendengar panggilan Allah, mereka segera berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!”
(kami sambut panggilan-Mu ya Allah). Begitu pula kalau mereka dipanggil oleh
Rasulullah, mereka menjawab, “Labbaik ya Rasulallah!” Mereka meninggikan
panggilan Allah dan Rasul-Nya di atas semua panggilan yang lainnya.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
Alladzina amanu
- Artinya: “Orang-orang yang beriman.”
Sebenarnya lebih tepat disebut: “Orang-orang yang telah mengimani.” Kata
‘amanu’ adalah fi’il madhi, kata kerja yang telah lalu; jadi lebih tepat
disebut “telah mengimani”. Kalau subyeknya tunggal, menjadi ‘amana’.
- Dalam Al Qur’an sangat sering dipakai
perkataan, “Ya aiyuhal ladzina amanu”. Orang-orang beriman selalu
disebut secara jama’ (kolektif). Tidak pernah sekali pun Al Qur’an mengatakan,
“Ya aiyuhal mukmin” (wahai seorang Mukmin). Atau tidak pernah
dikatakan, “Ya aiyuhal ladzi amana” (wahai satu orang yang mengimani).
Selalu dikatakan, “Ya aiyuhal ladzina amanuu” (wahai orang-orang yang
beriman). Hal ini mengandung hikmah, bahwa din Islam adalah agama kolektif,
agama kebersamaan, bukan agama individu, bukan agama egoisme, bukan agama
ta’ashub golongan. Ummat Islam adalah Ummatan Wahidatan (Ummat yang satu),
bukan Ummat yang terpecah-belah, atau tersegmentasi menjadi berbagai golongan.
- Banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan
kita untuk bersatu padu, menjalin Ukhuwwah Islamiyyah, tidak berpecah-belah
dalam agama. Salah satu yang sering dibahas, adalah wasiat Allah kepada para
Nabi-nabi dan juga kepada Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam. Bunyi
wasiatnya, “An aqimud din wa laa tatafarraquu fihi”
(tegakkanlah agama ini dan janganlah kalian berpecah-belah di dalamnya. As
Syuraa: 13).
- Sebagian kaum Muslimin ada yang berdakwah
dengan membawakan “hadits 73 golongan”. Ummat Islam akan terpecah
menjadi 73 golongan, 72 golongan masuk neraka, dan 1 golongan selamat. Hadits
ini sangat masyhur, tetapi cara memahaminya seringkali salah. Sebenarnya,
hadits itu bermakna khabar (berita), bahwa Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam
mengabarkan, kelak Ummatnya akan berpecah-belah demikian-demikian. Namun oleh
sebagian orang, hadits itu justru dipahami sebagai perintah untuk
berpecah-belah, menghancurkan persatuan Islam, mengobarkan pertikaian di antara
sesama Muslim, terus kembangkan permusuhan dalam diri Ummat. Cara mereka
berdakwah mencerminkan pemahaman mereka. Makna hadits itu adalah khabar tentang
perpecahan, tetapi aplikasinya justru membuat perpecahan sebanyak-banyaknya.
Padahal agama para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam ditegakkan di atas manhaj
persatuan, tetapi mereka malah bersuka ria di atas perpecahan. Dari sisi sudah
tampak kesesatan jalan itu. Na’udzubillah
wa na’udzubillah.
- Siapapun yang membangun agamanya di atas
individualisme, egoisme, fanatik golongan, dan tidak kembali kepada asas
semula, yaitu persatuan di antara kaum Muslimin, mereka akan tersesat dan
dikalahkan. Lihat saja, dalam Al Qur’an Allah selalu memanggil Ummat Islam
dengan “Ya aiyuhal ladzina amanuu” (wahai orang-orang yang beriman),
bukan “Ya aiyuhal ladzi amana” (wahai satu orang yang beriman).
Pemahaman di atas semangat perpecahan itu pasti tidak akan matching dengan konsep dasar agama ini,
selamanya. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
- Dalam sebagian literatur disebutkan, bahwa
perintah Shiyam Ramadhan pertama kali turun pada tahun 2 Hijriyah.
Dalam masa 13 tahun Ummat Islam di Makkah, perintah Shiyam Ramadhan belum
diturunkan.
- Pada dasarnya, perintah Shiyam Ramadhan menuntut landasan keimanan, sebab kewajiban ini memang tidak ringan. Dalam Rukun Islam, Shiyam Ramadhan menempati posisi ke-4 setelah Syahadat, Shalat, dan Zakat. Tidak dibenarkan seseorang menjalankan Shiyam Ramadhan secara penuh, tetapi dirinya sendiri meninggalkan Shalat Lima Waktu dan kewajiban Zakat. Kecuali bagi anak-anak yang baru belajar puasa, sekedar berlatih menahan makan dan minum.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
- Pada dasarnya, perintah Shiyam Ramadhan menuntut landasan keimanan, sebab kewajiban ini memang tidak ringan. Dalam Rukun Islam, Shiyam Ramadhan menempati posisi ke-4 setelah Syahadat, Shalat, dan Zakat. Tidak dibenarkan seseorang menjalankan Shiyam Ramadhan secara penuh, tetapi dirinya sendiri meninggalkan Shalat Lima Waktu dan kewajiban Zakat. Kecuali bagi anak-anak yang baru belajar puasa, sekedar berlatih menahan makan dan minum.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
Kutiba ‘alaikum
- Artinya: “Telah diwajibkan atas kalian.”
Arti asal dari kata ‘kutiba’ sebenarnya: Telah dituliskan! Dari kata ka-ta-ba
yang berarti menulis. Kutiba adalah bentuk pasif dari kata ka-ta-ba, sehingga
maknanya ‘dituliskan’. (Kalau dalam bahasa Indonesia, kutiba = aku datang.
Sekedar humor!).
- Para ahli tafsir telah sepakat, bahwa kata
‘kutiba’ artinya adalah diwajibkan atau difardhukan. Sebagai ibadah wajib,
sebagaimana rumus umumnya, jika dikerjakan mendapat pahala besar, jika
ditinggalkan berdosa. Shiyam Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap Muslim
yang mampu mengerjakannya.
- Ada beberapa ayat dalam Surat Al Baqarah yang mirip bentuk kalimatnya dengan ayat Shaum ini. Dalam ayat 178 disebutkan: “Kutiba ‘alaikumul qishash fil qatla” (diwajibkan atas kalian al qishash dalam pembunuhan); dalam ayat 180: “Kutiba ‘alaikum idza hadhara ahadakumul mautu in taraka khaira, al washiyah” [diwajibkan atas kalian jika datang (tanda-tanda) kematian kepada salah satu dari kalian, yaitu menyampaikan washiyat, jika dia meninggalkan suatu kebaikan (harta benda yang banyak)]; dalam ayat 216: “Kutiba ‘alaikumul qitalu wa huwa kurhul lakum” (diwajibkan atas kalian berperang, sedangkan berperang itu tidak kalian sukai). Bahkan sejatinya, dalam ayat-ayat Surat Al Baqarah ini adalah “rangkaian kutiba”, sebab berturut-turut disebutkan ayat-ayat tentang kewajiban, meskipun terpisah oleh beberapa ayat lainnya. Ayat Shaum termasuk di dalamnya (ayat 183). Singkat kata, kutiba itu artinya diwajibkan/difardhukan.
- Adapun kalimat ‘alaikum kembali kepada orang-orang beriman.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
- Ada beberapa ayat dalam Surat Al Baqarah yang mirip bentuk kalimatnya dengan ayat Shaum ini. Dalam ayat 178 disebutkan: “Kutiba ‘alaikumul qishash fil qatla” (diwajibkan atas kalian al qishash dalam pembunuhan); dalam ayat 180: “Kutiba ‘alaikum idza hadhara ahadakumul mautu in taraka khaira, al washiyah” [diwajibkan atas kalian jika datang (tanda-tanda) kematian kepada salah satu dari kalian, yaitu menyampaikan washiyat, jika dia meninggalkan suatu kebaikan (harta benda yang banyak)]; dalam ayat 216: “Kutiba ‘alaikumul qitalu wa huwa kurhul lakum” (diwajibkan atas kalian berperang, sedangkan berperang itu tidak kalian sukai). Bahkan sejatinya, dalam ayat-ayat Surat Al Baqarah ini adalah “rangkaian kutiba”, sebab berturut-turut disebutkan ayat-ayat tentang kewajiban, meskipun terpisah oleh beberapa ayat lainnya. Ayat Shaum termasuk di dalamnya (ayat 183). Singkat kata, kutiba itu artinya diwajibkan/difardhukan.
- Adapun kalimat ‘alaikum kembali kepada orang-orang beriman.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
As shiyamu
- As
shiyamu adalah bentuk jama’
(plural) dari kata as shaumu.
- Dalam ayat di atas digunakan kata as shiyamu, bukan shaumu. Memang di bulan Ramadhan terdapat banyak puasa, Ummat Islam berpuasa sebulan penuh, bukan hanya sehari puasa; dan yang berpuasa itu seluruh kaum Muslimin di muka bumi, bukan hanya satu dua orang, atau sekelompok orang saja.
- Kata shaum menurut para ulama maknanya al imsak (menahan diri). Hal ini sama dengan istilah waktu imsak yang sering kita dengar, yaitu waktu 10 atau 15 menit menahan makan-minum sebelum adzan Shubuh. Sama-sama memakai kata al imsak yang berarti menahan diri.
- Dalam ayat di atas digunakan kata as shiyamu, bukan shaumu. Memang di bulan Ramadhan terdapat banyak puasa, Ummat Islam berpuasa sebulan penuh, bukan hanya sehari puasa; dan yang berpuasa itu seluruh kaum Muslimin di muka bumi, bukan hanya satu dua orang, atau sekelompok orang saja.
- Kata shaum menurut para ulama maknanya al imsak (menahan diri). Hal ini sama dengan istilah waktu imsak yang sering kita dengar, yaitu waktu 10 atau 15 menit menahan makan-minum sebelum adzan Shubuh. Sama-sama memakai kata al imsak yang berarti menahan diri.
- Kemudian coba perhatikan lagi, ayat
tersebut berbunyi, “Kutiba ‘alaikumus shiyamu”, bukan “Kutiba ‘alaikum
shiyamun”. Sebelum kata shiyamu terdapat alif-lam. Hal ini disebut ismun
ma’rifah, yaitu kata benda yang bersifat tertentu. Kalau disebut “as shiyamu”
maka puasa yang dimaksud sudah tertentu, sudah dimaklumi, jelas maksudnya.
Tetapi kalau “shiyamun”, maka puasa itu bersifat umum, general, puasa apa saja,
baik di bulan Ramadhan atau di luarnya. Maka alif-lam pada “as shiyamu” itu
artinya adalah puasa tertentu, sudah pasti maksudnya, sudah nyata
diferensiasinya, yaitu: Puasa
di bulan Ramadhan. Singkat kata, puasa yang diwajibkan kepada
orang-orang beriman ialah puasa di bulan Ramadhan, bukan selainnya.
- Memang, selain puasa Ramadhan ada juga
puasa yang diwajibkan, yaitu: Puasa qadha untuk mengganti puasa Ramadhan yang
ditinggalkan; dan puasa nadzar. Misalnya ada seseorang yang nadzar akan
berpuasa 7 hari jika lulus ujian, maka dia wajib menunaikan puasa itu, tidak
boleh ditinggalkan.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum
- Artinya, “Seperti yang telah diwajibkan
kepada orang-orang sebelum kalian.”
- Kewajiban puasa bukan hanya ditetapkan atas kaum Muslimin, tetapi juga atas kaum-kaum terdahulu. Hal ini mengandung makna, bahwa kewajiban puasa bersifat universal terhadap orang-orang beriman di setiap jaman.
- Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Dan telah diriwayatkan bahwa as shiyam ini pada mulanya (pada awal Islam) seperti keadaan pada Ummat-ummat sebelum kita, yaitu tiga hari puasa setiap bulannya. Dari Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas, dari Atha’, Qatadah dan Dhahak, dari Muzahim dan dia menambahkan: ‘Tidak berhenti kewajiban ini (puasa setiap bulan 3 hari) sejak jamannya Nuh ‘alaihissalam sampai Allah menghapuskan hal itu dengan shaum di bulan Ramadhan.”
- Di jaman awal Islam, perintah puasa ialah 3 hari setiap bulan. Kewajiban shiyam Ummat-ummat terdahulu juga seperti itu. Dalam riwayat dikatakan, Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash Ra. telah bersumpah dirinya akan puasa setiap hari dan bangun sepanjang malam. Ketika mendengar hal itu, Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam menasehati Abdullah, “Dan sesungguhnya cukup bagimu untuk berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, karena sesungguhnya bagimu (dan bagi Ummat Islam seluruhnya) setiap kebaikan itu dilipat-gandakan sepuluh kali, maka (jika setiap bulan puasa tiga hari) yang demikian itu sama dengan puasa setahun penuh.” (HR. Bukhari-Muslim). Penjelasannya: 1 kebaikan dilipatgandakan 10 kali; 1 hari puasa sama dengan 10 hari puasa; 3 hari puasa sama dengan puasa 30 hari (sebulan); kalau setiap bulan kontinue puasa 3 hari, otomatis telah puasa setahun penuh.
- Kewajiban puasa bukan hanya bagi Ummat Islam, tetapi juga Ummat-ummat terdahulu. Hal ini mengandung hikmah, bahwa beban yang kita tanggung dalam puasa bersifat universal, dipikulkan kepada semua pundak orang-orang beriman di setiap jaman dan generasi. Bahkan sampai saat ini kaum Nashrani dan Yahudi pun masih menunaikan puasa, terlepas perbedaan tatacara berpuasanya. Hingga di antara mereka ada yang sungguh-sungguh menunaikan puasa.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
- Kewajiban puasa bukan hanya ditetapkan atas kaum Muslimin, tetapi juga atas kaum-kaum terdahulu. Hal ini mengandung makna, bahwa kewajiban puasa bersifat universal terhadap orang-orang beriman di setiap jaman.
- Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Dan telah diriwayatkan bahwa as shiyam ini pada mulanya (pada awal Islam) seperti keadaan pada Ummat-ummat sebelum kita, yaitu tiga hari puasa setiap bulannya. Dari Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas, dari Atha’, Qatadah dan Dhahak, dari Muzahim dan dia menambahkan: ‘Tidak berhenti kewajiban ini (puasa setiap bulan 3 hari) sejak jamannya Nuh ‘alaihissalam sampai Allah menghapuskan hal itu dengan shaum di bulan Ramadhan.”
- Di jaman awal Islam, perintah puasa ialah 3 hari setiap bulan. Kewajiban shiyam Ummat-ummat terdahulu juga seperti itu. Dalam riwayat dikatakan, Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash Ra. telah bersumpah dirinya akan puasa setiap hari dan bangun sepanjang malam. Ketika mendengar hal itu, Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam menasehati Abdullah, “Dan sesungguhnya cukup bagimu untuk berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, karena sesungguhnya bagimu (dan bagi Ummat Islam seluruhnya) setiap kebaikan itu dilipat-gandakan sepuluh kali, maka (jika setiap bulan puasa tiga hari) yang demikian itu sama dengan puasa setahun penuh.” (HR. Bukhari-Muslim). Penjelasannya: 1 kebaikan dilipatgandakan 10 kali; 1 hari puasa sama dengan 10 hari puasa; 3 hari puasa sama dengan puasa 30 hari (sebulan); kalau setiap bulan kontinue puasa 3 hari, otomatis telah puasa setahun penuh.
- Kewajiban puasa bukan hanya bagi Ummat Islam, tetapi juga Ummat-ummat terdahulu. Hal ini mengandung hikmah, bahwa beban yang kita tanggung dalam puasa bersifat universal, dipikulkan kepada semua pundak orang-orang beriman di setiap jaman dan generasi. Bahkan sampai saat ini kaum Nashrani dan Yahudi pun masih menunaikan puasa, terlepas perbedaan tatacara berpuasanya. Hingga di antara mereka ada yang sungguh-sungguh menunaikan puasa.
- Wallahu a’lam bisshawaab.
La’allakum tattaqun
- Artinya, “Agar kalian bertakwa.”
- Kalimat yang digunakan “La’allakum
tattaqun” (agar kalian senantiasa berbuat takwa) bukan “La’alla an takunal
muttaqun” (agar kalian menjadi orang yang bertakwa). Mungkin maknanya,
ketakwaan itu merupakan perbuatan yang ditunaikan secara terus-menerus, tanpa
mengenal istilah akhir. Bukan setelah seseorang meraih gelar Muttaqun (orang
bertakwa), lalu dia meninggalkan perbuatan takwa. Seperti seseorang yang terus
belajar tanpa henti, tidak mengenal istilah tamat dalam belajar. Tetapi ada
juga para sarjana yang seketika berhenti belajar, setelah meraih gelar sarjana.
- Takwa menurut pengertian yang populer
ialah: “Mengerjakan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh
larangan-Nya.” Takwa dengan pengertian seperti ini tidak akan mampu dikerjakan
oleh siapapun, selain hanya oleh Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam.
- Kata takwa berasal dari taqa, yang artinya
takut. Bahkan kata ‘takut’ dalam bahasa Indonesia sebenarnya adalah serapan
dari kata ‘taqa’ ini. Takwallah artinya adalah takut kepada Allah. Seseorang
disebut takwa jika mau mengerjakan perintah-perintah Allah karena takut berdosa
jika tidak mengerjakannya; dan mau menjauhi larangan-larangan Allah, karena
takut berdosa dengan mengerjakannya. Perintah dikerjakan karena takut kepada
Allah; larangan dijauhi juga karena takut kepada Allah. Itulah takwa.
- Kata “la’allakum” merupakan jaminan bahwa
puasa yang kita tunaikan di bulan Ramadhan benar-benar akan menghasilkan
karakter takwa. Pihak yang menjamin kepastian hasil itu adalah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala sendiri. Pertanyaannya, mengapa setelah Ummat Islam banyak berpuasa,
mereka tidak kunjung bertakwa? Tentunya, puasa yang berkualitas yang akan
menuntun ke arah terbentuknya karakter takwa itu. Ia seperti riwayat yang
disebutkan, “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan
mengharapkan pahala, maka diampunkan baginya dosa-dosanya yang telah lalu.”
(HR. Bukhari-Muslim). Puasa yang didasari iman dan kesungguhan itulah yang
diharapkan akan membentuk karakter insan bertakwa.
- Takwa sendiri sangat banyak keutamaannya.
Dalam Surat At Thalaaq ayat 2-4, disebutkan 3 keutamaan takwa, yaitu: (1)
Diberi jalan keluar dari kesulitannya; (2) Diberi rizki dari arah yang tidak
disangka-sangka; (3) Diberi kemudahan dalam setiap urusan.
- Puasa Rmadhan merupakan wahana yang
disediakan oleh Allah untuk memperbaiki keadaan ruhiyah manusia di muka bumi.
Seharusnya, setelah shiyam Ramadahan, para sha’imin dan sha’imat meraih
karakter takwa, sehingga hidupnya dipenuhi kebaikan-kebaikan. Tetapi jika telah
berlalu bulan Ramdahan setiap tahun, namun perubahan baik belum juga terjadi,
berarti kualitas shiyam yang kita jalani masih jauh dari harapan. Ia baru
shiyam dalam makna sebagai tradisi/kebiasaan, bukan sebuah thariqah (jalan)
untuk meraih ridha-Nya.
- Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperbaiki keadaan kaum Muslimin, menolong mereka dalam menunaikan ibadah Ramadhan, memberi kemudahan urusan, memberi kelapangan rizki, dan menganugerahkan perbaikan hidup secara hakiki. Amin Allahumma amin.
- Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperbaiki keadaan kaum Muslimin, menolong mereka dalam menunaikan ibadah Ramadhan, memberi kemudahan urusan, memberi kelapangan rizki, dan menganugerahkan perbaikan hidup secara hakiki. Amin Allahumma amin.
Asbabun Nuzul Shaum
Ramadhan
Asbabun nuzul Shaum Ramadhan atau sebab-sebab turunnya
ayat tentangkewajiban shaum Ramadhan tersebut, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
dariMu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu, berkata, "Sesungguhnya RasulullahShallallahu
'Alaihi Wasallam Ketika sampai di Madinah (hijrah) beliaushaum di hari Asysyura dan tiga hari setiap
bulan".Waktu itu umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallammelaksanakan shaum wajib tiga hari setiap bulannya. Setelah hijrah
keMadinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi di situ shaum pada tanggal10
Muharram. Lalu beliau bertanya tentang sebab musabab mereka shaumpada hari
tersebut. Orang-orang Yahudi itu menyatakan bahwa pada haritersebut Allah telah
menyelamatkan Nabi Musa Alaihis Salam dan kaumnyadari serangan Fir'aun. Oleh
karena itu Nabi Musa Alaihis Salammelaksanakan shaum pada tanggal 10 Muharram
sebagai tanda syukur kepadaAllah.Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mengulas keterangan mereka itudengan menyatakan, “Sesungguhnya kami
(umat Islam) ada lah lebih berhak atas
Nabi Musa dibanding kalian”.
Lalu beliau melaksanakan shaum padatanggal 10 Muharram
dan memerintahkan seluruh umat Islam supaya shaumpada tanggal tersebut.Beberapa
waktu kemudian, pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijriyah, AllahMewajibkan shaum
Ramadhan dengan menurunkan ayat 183-184 dari suratAl-Baqarah. Lalu, setelah
itu, maka shaum tanggal 10 Muharram dan shaumtiga hari setiap bulannya berubah
status menjadi shaum tambahan yangdianjurkan atau sunah.
Dalil
kewajiban shaum.
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Siapa saja di antara kalian yang melihat
hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah. (QS al-Baqarah
[2]: 185).
Dalil shaum juga didasarkan
pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang menyatakan:
«اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ:
شَهاَدَةِ اَنْ لاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ،
وَاِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Islam
itu dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat;
beribadah haji; dan shaum Ramadhan.” (HR al-Bukhari, Muslim dan
Ahmad).
Shaum wajib Bagi yang
Balig dan Berakal
Karena itu, secara pasti
shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah balig dan berakal. Dalam
hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk berpuasa. Hal ini
didasarkan pada sabda Nabi saw.:
«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ
ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ»
Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga
orang: dari anak kecil hingga balig; dari orang yang tidur hingga dia bangun;
dan dari orang gila hingga ia waras. (HR Abu Dawud).
Wanita Haid dan Nifas Tidak
Wajib Puasa
Wanita haid dan nifas juga
tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka adalah tidak sah. Jika mereka
telah suci dari haid maka mereka wajib meng-qadha’ puasa yang
ditinggalkannya. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang
menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«فِي الْحَيْضِ كُنَّا
نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ»
Karena haid, kami telah diperintahkan untuk
meng-qadha’ shaum, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. (HR
Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Siapa Yang Diwajibkan
Mambayar Fidyah ?
Siapa saja yang tidak kuasa
untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu, seperti orang yang sudah sangat
tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum baginya sangat berat, lalu orang yang
sakit yang penyakitnya tidak mungkin disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib
untuk berpuasa; tetapi mereka wajib untuk membayar fidyahsebagai
gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini
suatu hal yang berat/kesempitan bagi kalian. (QS
al-Hajj [22]: 78).
Allah SWT juga berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Bagi orang-orang yang menanggung beban berat
dalam berpuasa, mereka wajib memberikan fidyah, yakni memberi makan orang
miskin. (QS al-Baqarah [2]: 184).
Ada juga hadis penuturan
Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«وَمَنْ اَدْرَكَهُ الْكِبَرُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضاَنَ
فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّ مِنْ قَمْحٍ»
Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut,
lalu dia tidak kuasa untuk melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk
mengeluarkan satu mud gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan
ad-Daruquthni).
Ibn Umar ra. juga
menuturkan hadis:
«اِذَا ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ اَطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا»
Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum,
hendaknya ia memberikan makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR
al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Dari Anas ra. juga
dikatakan:
«أَنَّهُ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ وَفاَتِهِ فَافْطَرَ
وَاَطْعَمَ»
Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum
sepanjang tahun sebelum wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang
miskin.
(HR ath-Thabrani dan al-Haitasmi).
Siapa Yang diwajibkan Qodho
Puasa ?
Jika seseorang tidak kuasa
untuk berpuasa karena sakit dan ia khawatir sakitnya bertambah parah, ia juga
tidak wajib untuk berpuasa, karena di dalamnya ada rasa berat sehingga dia
boleh berbuka. Kemudian, jika dia sembuh maka dia wajib untuk meng-qadha’-nya.
Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau
dalam perjalanan, maka hendaknya ia mengganti puasanya pada hari yang lain
sejumlah yang ditinggalkannya. (QS al-Baqarah
[2]: 184).
Jika seseorang sedang
berpuasa, lalu ia jatuh sakit, ia boleh berbuka, karena keadaan sakit memang
membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.
Bagaimana Shaum Bagi yang
Safar (melakukan Perjalanan ) ?
Sementara itu, berkaitan
dengan seorang musafir, jika safar yang dilakukannya tidak mencapai empat barid atau
80 kilometer, ia wajib tetap berpuasa; ia tidak boleh berbuka. Alasannya,
karena safar/perjalanan yang menghasilkan adanya rukhshah(keringanan)
untuk berbuka adalah safar syar‘i (bukan semata-mata safar, peny.),
yakni empat barid, yang setara dengan 80 km. Jika seorang musafir
melakukan safar sejauh 80 km atau lebih maka ia boleh untuk tetap berpuasa dan
boleh juga berbuka. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:
`
«اِنَّ حَمْزَةَ اِبْنِ عَمْرُوْ اْلاَسْلَمِي قَالَ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، أَأَصُوْمُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: اِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَاِنْ شِئْتَ فَاَفْطِرْ»
Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Islami pernah
bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, “Perlukah aku berpuasa di
dalam perjalanan?” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau mau,
berpuasalah. Jika engkau mau, berbukalah.” (HR al-Bukhari,
Muslim, dan Ashab as-Sunan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar