MAKALAH
HUKUM PIDANA
Judul
Jenis Pidana dan Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Pidana
Dosen
Pengampu : FIRDAUS. SH,MH
Di
susun oleh
Sekolah
Tinggi Agama Islam ( S T A I )
Syekh
Maulana Qori (SMQ) BANGKO
T. A 2012
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Pemidanaan
Pemidanaan
bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi
dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum,
sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum
pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen (Leden Marpaung, 2005
: 2) menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut :
Hukum
pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan
umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan
terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara
pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan
pada kesemptan itu.
Tirtamidjaja
(Leden Marpaung, 2005 : 2) menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana
formil sebagai berikut :
a. Hukum
pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana,
menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan
orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana.
b. Hukum
pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan
hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu,
atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan
sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan
hakim.
Hukum pidana
indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1. Pidana
Pokok
a. Pidana
mati
b. Pidana
penjara
c. Pidana
kurungan
d. Pidana
denda
2. Pidana
Tambahan
a. Pencabutan
hak-hak tertentu
b. Perampasan
barang-barang tertentu
c. Pengumuman
putusan hakim
Adapun
mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah
didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah
yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai
tambahan terhadap pidana-pidana pokok , dan biasanya bersifat fakultatif
(artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi
kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan
Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Menurut
Tolib Setiady (2010 : 77) perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah
sebagai berikut :
a. Pidana
tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal
perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada
pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok
melainkan pada tindakan).
b. Pidana
tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pidana pokok, sehingga
sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan
maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut
tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat
imperatif atau keharusan).
c. Mulai
berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi
melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
Berikut ini
penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai
berikut :
1. Pidana
Pokok
a. Pidana
Mati
Sebagai mana
yang ditentukan dalam pasal 11 KUHP yaitu :
“pidana mati
dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
Di dalam
negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu
pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat
(3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP,
Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana
mati juga tercantum dalam Pasal 6, 9, 10, 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati
juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau
keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap
delik tersebut di muka (Pasal 6, 9, 10, dan 14).
b. Pidana
Penjara
A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah (Tolib
Setiady, 2010 : 91), menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana
yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan
kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa
pengasingan.
Pidana penjara
bervariasi dari penjara sementara minimal satu hari sampai penjara seumur
hidup. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Roeslan Saleh (Tolib Setiady, 2010 :
92), bahwa :
Pidana penjara
adalah pidana utama dari pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini
dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.
Pidana seumur
hidup biasanya tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana
mati, seumur hidup atau penjara dua puluh tahun).
c. Pidana
Kurungan
Sifat pidana
kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis
pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak
dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga
kemasyaraktan.
Pidana
kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini
ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan
oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati
urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya
satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal
18 KUHP, bahwa :
“Paling
sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena
gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi
satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu
tahun empat bulan”.
d. Pidana
Denda
Pidana
denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara,
mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang
telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah
uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat
dipidana.
Menurut P.A.F.
Lamintang (1984 : 69) bahwa :
Pidana
denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan
baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda
ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara
alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana
pokok tersebut secara bersama-sama.
Pidana
denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan
ringan.
2. Pidana
Tambahan
Pidana
tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan,
tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan
barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat
dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
3. Tujuan
Pemidanaan
Di indonesia
sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini
wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat
teoritis. Namun sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan
tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul
Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.
Tujuan
pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro (1989 : 16), yaitu :
a. Untuk
menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara
menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti
orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak
melakukan kejahatan lagi (speciale preventif), atau
b. Untuk
mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi
orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Tujuan
pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat,
rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek
psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun
pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
P.A.F.
Lamintang (1984 : 23) menyatakan :
Pada dasarnya
terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu
pemidanaan, yaitu :
a. Untuk
memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,
b. Untuk
membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan
c. Untuk
membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain
sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Dari
kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan
pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga. Pada bagian
ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut :
a. Teori
Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theorien)
Menurut
teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan
atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut
didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti
memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya
sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain
hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).
Sebagaimana
yang dinyatakan Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) bahwa :
Teori absolut
memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah
dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya
kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan
keadilan.
Dari
teori tersebut di atas, nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan
etika, di mana seseorang yang melakukan kejahatan akan dihukum dan hukuman itu
merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah etika
yang jahat ke yang baik.
Menurut Vos
(Andi Hamzah, 1993 : 27), bahwa :
Teori
pembalasan absolut ini terbagi atas pembalsan subyektif dan pembalasan
obyektif. Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku,
sementara pembalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah
diciptakan oleh pelaku di dunia luar.
b. Teori
Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)
Teori
relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat
untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan
teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman
artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap
mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan
sikap mental.
Menurut
Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) tentang teori ini bahwa :
Pemidanaan
bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan
yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.
Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak
melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
c. Teori
Gabungan/modern (Vereningings Theorien)
Teori
gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural,
karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut
(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan
mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik
moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak
pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau
perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
Teori ini
diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List (Djoko Prakoso, 1988 :47) dengan
pandangan sebagai berikut :
1) Tujuan
terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
2) Ilmu
hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi
antropologi dan sosiologis.
3) Pidana
ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk
memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu
pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam
bentuk kombinasi denga upaya sosialnya.
Dari
pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu
selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah
memberikan pemidanaan dan pendidikan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan
dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik
ringan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemidanaan
bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi
dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum,
sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
Hukum
pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP
yakni :
1. Pidana
Pokok
a.
Pidana
mati
b.
Pidana
penjara
c.
Pidana
kurungan
d.
Pidana
denda
2. Pidana
Tambahan
a.
Pencabutan
hak-hak tertentu
b.
Perampasan
barang-barang tertentu
c.
Pengumuman
putusan hakim
Tujuan dari pemidanaan, yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan
dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik
ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tata
kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut
sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari
suatu pemidanaan tidak dapat dihindari.
BAB I
PENDAHULUAN
Pidana merupakan kata istilah hokum
yang kerap kali kita dengar, apalagi di Indonesia, dimana setiap hari kita mendengar,
melihat, dan membaca berita-berita terkini mengenai Tindak Pidana. Akan tetapi,
ada beberapa contoh kasus tindak pidana yang menurut sudut pandang masyarakat
sangat tidak mencerminkan ciri-ciri keadilan, salah satunya adalah Tindakan
Pidana Ringan (Tipiring).
Banyak sekali kasus-kasus tindakan
pidana ringan yang sering menjadi bahan perbincangan oleh rakyat dan dasar
argumen untuk mengkritik dengan keras keadilan dan hukum di Indonesia, bahkan
beberapa dari kasus tersebut menjadi berita yang sangat konterversial bagi
masyarakat.
Oleh sebab itu pemakalah mengambil
ti\ofik yang berhubungan dengan pemidanaan yang berlaku di sistem hokum di
Indonesia oleh karenaya yang akan pemakalah bahas adalah tentang apa jenis
pidana di Indonesia? dan apa tujuan pemidanaan di Indonesia?
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum wr.wb.
Puji syukur patut kita
ungkapkan kehadirat Allah SWT, karena atas izinnya dan rahmat hidayah Nya yang
dilimpahkannya kepada kita semua. Alhamdulillah penyusun makalah yang berjudul “
Jenis Pidana dan Tujuan Pemidanaan dalam Hukum ” ini dapat kami selesaikan
tepat pada tenggang waktu yang diberikan oleh dosen pembimbing.
Dalam
menyingkapi permasalahan yang terdapat didalam makalah ini, terutama kami
sebagai pemakalah belum begitu sempurna menguraikan isi yang ada didalam
makalah ini, untuk itu penting adanya harapan kami memohon kepada dosen
pembimbing untuk menambah serta meluruskannya agar tidak terjadi kekeliruan
bagi para rekan pembaca.
Selanjutnya
ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing yang memberi dorongan pada kami
dalam menyusun makalah ini dan teman-teman kelompok yang telah berkerja sama
menyukseskan penyusunannya.
Wassalamua’alaikum wr,wb
Bangko 6 juli
2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................i
Daftar Isi
......................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
......................................................................................1
Latar Belakang
BAB II Pembahasan
A.
Pengertian pidana di Indonesia.......................................................2
B.
Jenis pidana di
Indonesia…………………………........................4
C.
Tujuan pemidanaan………………………..……………..…...…..7
BAB III Penutup
.........................................................................................8
Kesimpulan
Daftar
Pustaka.............................................................................................9
Daftar Pustaka
www.gogle.wikepedia.hukum pidana di Indonesia.com
P.A.F.
Lamintang (1984 : 69) Buku I dan Buku II KUHP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar