Senin, 02 Juli 2012



MENETAPKAN HUKUM MENURUT TEORI AMAR DAN NAHI

A.    PENDAHULUAN
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan  menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Dua hal itu adalah tentang lafadz Amr dan Nahi serta dalalahnya.
Setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syari’at Islam harus berpijak atas  Al-Qur’an al-karim dan Sunnah Nabi. Dengan demikian, dalil syar’iy ada dua bentuk yaitu; Nash dan Ghoirun Nash (bukan Nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam katagori Nash seperti Istihsan dan Qiyas pada dasarnya digali, bersumber dan berpedoman pada Nash. Seorang Mujtahid harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari Nash. Dalam ilmu ushul fiqh, hal tersebut dibahas dalam metodologi khusus yang tidak akan dijabarkan di sini.
Cara penggalian hukum dari Nash ada dua macam pendekatan, yaitu:
1.   pendekatan makna
2.   pendekatan lafadz
Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada Nash secara langsung, seperti menggunakan metode Qiyas, Istihsan, Mustalah, Dzara’i dan lain sebagainya. Sedangkan pendekatan lafadz dalam penerapannya membutuhkan beberapa paktor pendukung yang di antaranya adalah:
1.   Penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafaz Nash serta konotasinya dari segi khusus dan umum.
2.   Mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi atau menggunakan mafhum yang diambil dari konteks kalimat.
3.   Mengerti batasan-batasan (qoyyid) yang membatasi ibarat-ibarat Nash. Dan lain-lain.[1]
Jadi Objek utama yang dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkatkejelasannya. Untuk itu, para ahli telah membuat beberapa kategori lafadz atau redaksi, di antaranya yang mencakup masalah amr, nahi, dan takhyir, serta pembahasan lafadz dari segi umum dan khusus yang akan sedikit dijabarkan dalam makalah ini.
Dalam makalah ini, penulis khusus memfokuskan pada pembahasan konsep amar dan nahi dan hal yang berkaitan dengan kedua-duanya.

















B.   PEMBAHASAN

1. Amar
a).    Pengertian Amar
 Perintah (amr) adalah permintaan lisan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukanya lebih rendah.[2] Perintah menurut pengertian ini berbeda dari permohonan (do’a) dan ajakan (iltimas). Karena yang disebut pertama merupakan permintaan dari orang yang kedudukanya lebih rendah kepada orang yang kedudakanya lebih tinggi. Sementara ajakan permintaan diantara orang yang seterusnya sejajar/ hampir sejajar.
Perintah lisan menimbulkan makna yang berbeda-beda yaitu wajib, sunnah bahkan mubah. Ada yang berpendapat bahwa amar hanya mencakup dua di antara tiga konsep tersebut, yaitu wajib dan sunnah. Sedangkan ada pendapat untuk melakukan sesuatu dan ini makna amr yang paling luas yang sama dengan ketiga konsep di atas.
 Adapun arti amar

“Yang pokok dalam amru adalah menunjukkan wajib”

wajibnya perbuatan yang di perintahkan atau

 “Lafadz yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan”.

 b).  Macam-Macam Amar[3]
 Bentuk amar kadang-kadang keluar dari makna yang asli dan di gunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat diketahui dari susunan perkataan, antara lain:
1.         Ijab (wajib), contoh:
        “Dirikanlah shalat
2.         Nadab (anjuran), contoh:
        “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”.(QS An nur : 33)

3.         Takdib (adab), contoh:[4]
        “makanlah apa yang ada di depanmu
 4.    Irsyad ( menunjuki), contoh:
        “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu)”. (QS Al-Baqarah : 282)

 5.    Ibahah (membolehkan), contoh:
        “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”(QS Al-Baqarah : 187)

 6.    Tahdid (ancaman), contoh:
        “Kerjakanlah apa yang akan kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa ynag kamu kerjakan”.(QS Fussilat : 60)
 7.    Inzhar (peringatan)
        “Katakanlah : bersukarialah kamu, karena sesunggunya tempat kembalimu adalah neraka”.(QS Ibrahim : 30)

 8.    Ikram (memuliakan)
        “Dikatakan kepada mereka : masuklah kedalamnya dengan sejahtera lagi aman”.(QS Hijr : 46)

 9.    Taskhir (penghinaan)
        “…jadilah kamu sekalian kera yang hina”(QS Baqarah : 65)
 10.  Ta’jiz melelahkan
        “Datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama al-Qur’an itu” (QS Baqarah : 23)

 11.  Taswiyah (memersamakan)
        “…maka bersabarlah atau tidak…”(QS Ath thur : 16)
 12.  Tamanni (angan-angan)
        Wahai siang malam ! memanjanglah
         Wahai kantuk ! menghilanglah
         Wahai waktu subuh ! berhentilah terlebih dahulu
        Jangan segera dating

 13.  Do’a (berdo’a)
        “Ya Allah ampunilah aku”(QS As Shod : 35)
 14.  Ihanah (meremehkan)
        “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”.(QS Ad Dukhon : 49)

 15. Imtinan

c).    Ciri-Ciri Amar[5]
 Ciri-ciri amar antara lain :
 a.  Fi’il amar
 b.  Isim fi’il amar
 c.  Kemasukan lam fi’il
 d.  Masdar yang menduduki tempatnya isim fi’il amar.

 d).  Dilalah Dan Tuntutan Amar
        -Dilalah
1).   Menunjukkan wajib,
Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa Jumhur ulama’ sepakat mengatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu tuntutan yang secara mutlak selama tidak ada qurinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut.
 Juga berdasarkan “arti pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya) perbuatan yang diperintahkan.

Contoh QS : Al A’raf : 12
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
dan Al Baqoroh : 34

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.

Ayat pertama bukan di tunjukkan untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap iblis karena engggan bersujud kepada adam tanpa alasan, ketika iblis diperintah sujud.
 Ayat kedua, yaitu perkataan sujudlah (usjudu) dengan tidak diserta qorinah menunjukkan kemestian/ keharusan.
 2).  Menunjukkan anjuran (nadab) berdasarkan kaidah[6]

Arti pokok dalam amar / suruhan itu adalah menunjukkan anjuran (nadab)

 Suruhan adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti sholat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadab) seperti sholat dhuha.

 Tuntutan dalam amar[7]
1.      Amar tidak menghendaki perulangan
 Contoh :     “Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah” (QS : Al Baqarah : 196)
 Yang mengikuti kaidah


Suruhan tidak menghendaki berulang-ulang
(berulang-ulang pekerjaan yang di tuntut)
 Kewajiban haji dan umrah hanya saja selama hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja sudah cukup.

2.      Amar mengehendaki perulangan

 “Suruhan, menghendaki berulang-ulang perbuatan (yang diminta) selama masih ada kesangupan sselama hidup.

3.      Amar tidak menghendaki berlaku segera

Suruhan tidak menghendaki kesegeraan
 Karena itu, boleh ditunda mengerajakanya dengan cara yang tidak akan melalaikan pekerjaan yang diperintahkan.
4.      Amar menghendaki berlaku segera

“Suruhan menghendaki kesegeraan

5.      Amar sesudah nahi (larangan)

 “Suruhan setelah larangan berarti boleh
 Contoh :
Al Maidah : 2
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Al Maidah : 95
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”.



2.   Nahi
 a). Pengertian Nahi
 Nahi adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan untuk meningggalkan sesuatu (tuntutan yang masih dikerjakan) dari atasan kepada bawahan[8]. Atau nahi adalah ungkapan yang meminta agar sesuatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan oleh orang yang kedudukanya lebih tinggi kepada orang yang kedudukanya lebih rendah.[9]
 Larangan seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok dari nahi adalah keharaman, atau tahrim tetapi nahi juga digunakan untuk sekedar menyatakan ketercelaan (karohiyah) / tuntutan (irsyad) atau kesopanan (ta’dib) dan permohonanan (do’a). Oleh karena itu nahi membawa berbagai makna, maka para ulama’ berbeda pendapat tentang manakah diantara makna – makna ini yang merupakan makna pokok (hakiki) sebagai lawan dari makna sekedar atau makna metaforisnya.[10] Adapun tujuan dari suatu larangan adalah adalah perbuatan maka tidak diperbolehkan menggunakan sifat yang tidak berhubungan dengan esensi dari perbuatan itu.
Arti pokok antara lain :

 “Bermula larangan itu menunjukkan haram” (haramnya perbuatan yang dilarang)

 Menunjukkan makruh

 “Makruhnya perbuatan yang dilarang

 b).  Macam-Macam Nahi
 Bentuk nahi kadang-kadang digunakan untuk beberapa arti (makna) yang asli yang dapat diketahui dari susunan perkataan
1.  Makruh
Janganlah sholat di kandang onta
2.  Do’a
3.  Iltimas
     Contoh : Syair Abu Taiyib
 “Jangan engkau ampaikan kepadanya (saifuddaulah) apa yang saya katakan, karena ia seorang pemberani. Manakala disebutkan tikaman, tentu ia akan merindukanya (ingin berperang)

4.   Irsyad (Al Maidah : 101)
janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu

5.    Tahdid (ancaman )
 contoh : Perkataan seseorang kepada pelayanya, tak usah kamu turuti perintahku.

6.      Tai-is (memutus asakan) Al Tahrim : 7
 “Janganlah minta ampun pada hari ini (hari kiamat)

7.      Tanbikh (menegur)
 Contoh : (syair, khansa, meratapi saudaranya)
     “Wahai kedua mataku, bermurahlah ! jangan kikir ! mengapa engkau tidak menangis Shahrunnada

8.      Tamanni (berangan-angan)
Wahai malam panjanglah, wahai tidur lenyaplah, wahai sudah berhrnti dulu, jangan terbit[11]

 c).   Dalalah Dan Tuntutan Nahi[12]
 Para ulama’ ushul sepakat bahwa dalalah nahi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali ada kata qarinah.[13] Larangan terbagi menjadi dua macam, yaitu larangan yang mutlak dan larangan yang terbatas (muqayyad). Larangan yang mutlak adalah larangan yang tidak terbatas kepada suatu waktu.

 “Bermula larangan yang mutlak menghendaki ditinggalknya perbuatan selamanya”.

 Dalam larangan yang mutlak larangan berlaku untuk seterusnya, untuk selamanya.[14]
 Contoh larangan mutlak
 QS Isra : 33
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar, Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.


 Contoh larangan muqayyad
 QS. An nisa : 43
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah


 Hadis :
 “Apabila datang had maka tinggalkan sholat
a.       Perintah sesudah larangan
 Setelah memperhatikan segala perintah syara’ yang datang sesudah larangan, ternyata bahwa perintah sesuah larangan itu menunjukkan boleh (mubah), terkecuali jika ada nash yahg menegaskan kefardluanya.
b.      Suruhan tidak menghendaki berulang kali di kerjakan.
 Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya orang disuruh uitu berulang-ulang mengerjakanya dan tidak pula menunjukkan kepadanya agar satu kali saja mengerjaknaya.
c.       Suruhan tidak menghendaki segera dikerjakan
 Suruhan yang di qaidkan dengan waktu akan gugur bila gugur waktunya karena harus dikerjakan dalam waktu nya.









C.    KESIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.






















DAFTAR PUSTAKA

As Syafi’I Karim, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999

Ghazali, al-Mustashfa

Hasbullah, Aly. “Ushulut tasyri’ al-Islami

http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/ diakses tgl 20-10-2011 jam 20.00


Kamali, Muhammad Hasyim, Prinsip Dan Teori – Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996

Khalaf , Abdul Wahab, Ushul Fiqh, Darul Qolam

Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1998

Thomum, Musthofa, Qowaidu Lil Lughoh Al Arabiyah, Al Hidayah, Surabaya.

Umam, Khairul, A, Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 1998

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, “Pustaka Ridwan 1999, hal 166

Zaidan, Abdul Karim, “al-Wajiz fi ushulul fiqhi”.



[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Ridwan 1999), hal 166

[2]Ibid. h. 168

[3] Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Darul Qolam cetakan ke 12. hal. 181-182.

[4]http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/ diakses tgl 29-11-2010 jam 20.00

[5]http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/ diakses tgl 29-11-2010 jam 20.00

[6]Abdul Karim Zaidan “Al-Wajiz fi ushulul fiqhi”hlm. 310 – 317. Muassasatur Risalah cetakan ke lima

[7] Abdul Wahab Khalaf. “Ushulul fiqhi”hlm. 327-329
[8] Aly Hasbullah. “Ushulut tasyri’ al-islami, hlm. 182

[9] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori – Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996

[10] Umam, Khairul, A, Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 1998

[11] As Syafi’I Karim, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999

[12] http://elmisbah.wordpress.com/Amm-dan-khos/tgl 6-1-2011 jam 10.12

[13] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1998

[14] Syekh Musthofa Thomum, Qowaidu Lil Lughoh Al Arabiyah, Al Hidayah, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar