Perkembangan pemikiran tokoh filsafat islam
BAB II
PEMBAHASAN
I.
PERKEMBANGAN
DAN TOKOH FILSAFAT ISLAM
Pemikiran-pemikiran
filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah
mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian,
seperti dikatakan Oliver Leaman, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap
bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau
hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan,
atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem[1].
Pertama, bahwa belajar
atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa
kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan
berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Kedua, kenyataan yang
ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat
muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani
Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas dan lainnya telah lazim digunakan.
Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas dan lainnya telah lazim digunakan.
Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode
istinbath dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767
M), Malik (716-796 M), Syafiai (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855
M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani[2].
II.
SUMBER PEMIKIRAN
RASIONAL ISLAM.
Beberapa model kajian
resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan
takwa. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah
yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi
pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia
berusaha keluar dari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara
istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna
(musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini
justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3)
Penggunaan qiyas
(analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara
langsung dalam teks[3].
Misalnya, bagaimana
menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya
dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk
kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa
antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan
pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan
seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal,
khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya
metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda
dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman,
hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya
tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan
atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis,
pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat
program penterjemahan.
III.
FILSAFAT YUNANI DALAM
PEMIKIRAN ISLAM.
Peradaban dan pemikiran
Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan, telah mulai di kenal
dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin
(wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi
Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak
terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada
masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini bisa dibuktikan
dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan
munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht
(w. 667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob
(w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya
Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik[4].
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik[4].
Pemikiran filsafat
Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah
masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan
buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833
M)
Terkena tindakan keras
dan resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu kota Baghdad,
filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti,
karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar
Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus,
kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang
filosof besar, yakni al-Farabi
(870-950). Tokoh yang dikenal sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya
menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan
filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap
sebagai guru kedua (al-mu`allim al-tsani) setelah Aristoteles sebagai guru pertama (al-mu`allim al-awwal).
Dengan posisi seperti
itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran
filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran
Arab-Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti
halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar
kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut digabungkan
konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi.Dengan prestasi-prestasi
yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar Guru
Utama (al-Syaikh al-Rais).
Akan tetapi, segera
setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan
al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat.
Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Falasifah yang diulangi
lagi dalam al-Munqid min al-Dlalal, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang
persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn
Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat,
juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM),
Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan
mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika
atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika
dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfafi
`ulam
al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi
filsafat, yakni burhani[5].
Filsafat Yunani,
khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada
masa Ibn Rusyd (1126-1198). Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd berusaha
mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha
ini rupanya kurang berhasil, karena menurut Nurcholish, balasan yang diberikan
Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat
Neo-platonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan
epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat
dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif)
yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk
kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai
dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa.Dikalangan elite terpelajar
madzhab ini, pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih
lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (1571-1640), Mullah Hadi
(1797-1873) dan lainnya.
BAB
III
PENUTUP
Dalam bagian akhir ini,
ada tiga hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran
filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut ,Setelah itu filsafat dibela
kembali oleh al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian
jatuh lagi oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi
akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab
Syi`ah.
Kedua, bahwa filsafat
Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam tidak hanya logika Aristoteles, tetapi
juga pemikian mistik Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari
beragamnya model filsafat yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn
Sina yang Platonis dalam konsepnya tentang emanasi, dan Ibn Rusyd yang
Aristotelian ketika menjawab serangan al-Ghazali.
Ketiga, kecurigaan dan
penentangan yang diberikan oleh sebagian tokoh muslim terhadap logika dan
pemikiran filsafat, bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar
Islam tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa saat
itu filsafat mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat. Apa yang
dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865-925 M) yang sampai menolak
kenabian karena mengikuti filsafat, juga apa yang dilakukan oknum tertentu yang
mengatasnamakan filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti nyata tentang hal
itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Teologi
dan filsafat dalam perspektif globalisasi dalam mukti ali,yogya, tiara wacana,
1998
Ø Filsafat
pemikiran ibn sina, solo, pustaka mantiq, 1988
Ø Arsyad,
natsir, ilmuan muslim sepanjang sejarah, jakarta, srigunting, 1995
Ø Machasin,
kelahiran dan pertumbuhan ilmu teologi, makalah pada mata kuliah studi ilmu
teologi, program pascasarjana (s-2), iain yogya, 1997
Ø htt//www.sejarah
filsafat islam .com
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum
wr.wb.
Puji syukur patut kita
ungkapkan kehadirat Allah SWT, karena atas izinnya dan rahmat hidayah Nya yang
dilimpahkannya kepada kita semua. Alhamdulillah penyusun makalah yang berjudul “Kajian
Tokoh tokoh Filsafat Islam”
ini dapat kami selesaikan tepat pada tenggang waktu yang diberikan oleh dosen
pembimbing.
Dalam menyingkapi permasalahan yang
terdapat didalam makalah ini, terutama kami sebagai pemakalah belum begitu
sempurna menguraikan isi yang ada didalam makalah ini, untuk itu penting adanya
harapan kami memohon kepada dosen pembimbing untuk menambah serta meluruskannya
agar tidak terjadi kekeliruan bagi para rekan pembaca.
Selanjutnya ucapan terimakasih
kepada dosen pembimbing yang memberi dorongan pada kami dalam menyusun makalah
ini dan teman-teman kelompok yang telah berkerja sama menyukseskan
penyusunannya.
Wassalamua’alaikum wr,wb
Bangko Januari
2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ....................................................................................................i
Daftar
Isi ............................................................................................................ii
BAB
I Pendahuluan
..........................................................................................iii
A. Latar
Belakang
B. Permasalahan
C. Tujuan
BAB
II Pembahasan
A.
Perkembangan
dan tokoh Filsafat .....................................................1
B.
Sumber
pemikiran Rasional Islam.....................................................2
C.
Filsafat
Yunani Dalam Pemikiran Islam............................................3
BAB
III Penutup
................................................................................................6
A. Kesimpulan
B. Kritik/Saran
Daftar
Pustaka....................................................................................................7
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Adapun
yang melatar belakangi kami kelompok “ ”
menyusun, menyaji, dan membuat makalah yang berjudul “Perkembangan dan tokoh
Filsafat Islam“ dalam mata kuliah Filsafat Umum
ini tidak lain adalah untuk menyelesaikan tugas yang di berikan dosen
pengampu kepada saya.
B.
Permasalahan
1. Perkembangan
dan tokoh Filsafat
2. Sumber pemikiran Rasional Islam
3. Filsafat Yunani Dalam Pemikiran Islam.
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah,agar mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami Ilmu Filsafat Islam dan kaitanya dengan agama sehingga mampu berfikir
dan berbuat sesuai dengan ilmu filsafat yang di fahami dan menyelesaikan
sesuatu permasalahan dengan arif dan bijaksana.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Jadi menurut pendapat
penulis dapat di simpulkan bahwa ,Ada
tiga hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran filsafat
Islam ternyata mengalami pasang surut ,Setelah itu filsafat dibela kembali oleh
al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh
serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak
terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah.
- Kritik dan Saran
Dalam
penyajian makalah kami ini, tentu rekan-rekan “pembaca khususnya mahasiswa
belum begitu memahami atau kurang merasa sempurna atas penyajian kami, hal itu
dikarenakan keterbatasan kami mencari buku dan kemampuan yang kami punya, untuk
itu kami mohon kesediaan dosen pembimbing menambah serta menutupi kelemahan
itu, selain itu adanya kritik /saran dari rekan-rekan” pasti menghasilkan
inovasi pada makalah berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar