Senin, 16 Juli 2012


PUTUS PERKAWINAN, TATA CARA
PERCERAIAN DAN MASA IDDAH
di susun oleh : MUJIMAN
STAI SMQ Bangko
2012


BAB I
PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya, manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” -QS adz Dzariyat ayat 49-. Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan posisi masing-masing.
Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya, karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya.
Perceraian dalam hokum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Putus ikatan bisa berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan mengagap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu kita akan membahas bagaimana tata cara perceraian dan dampaknya.








BAB II
PEMBAHASA
PUTUS PERKAWINAN, TATA CARA
PERCERAIAN DAN MASA IDDAH

A.   Putus Perkawinan (Karena Kematian, Perceraian Dan Putus Pengadilan) Serta Akibat-Akibatnya
1.    Putus Perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan mengagap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan perkawinan suami istri sudah putus atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh tali perkawinan.
Perceraian dalam hokum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut.




Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian. (Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah dan Al-Hakim).
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.


Pasal 38 UU Perkawinan
Perkawinan dapat putus karena :
a.    Kematian
b.    Perceraian
c.    Atas keputusan pengadilan
Pasal 39 UU Perkawinan
(1)  Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)  Untuk melakukan perceraan harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun suami istri.
(3)  Tata cara perceraian didapan siding pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pasal 40 UU Perkawinan
(1)  Gugat perceraian diajukan kepada pengadilan
(2)  Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri
Selain rumusan hukum dalam  undang-undang Perkawinan tersebut, Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 114 mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh percaraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 KHI mempertegaskan bunyi Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan yang sesuai dengan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
 Selain itu, KHI juga menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan denganperceraian dan akibat hukumnya, termasuk yang berkaitan dengan teknis pelaksanaannya agar tidak perceraian itu dilakukan sesuai dengan hukum Islam.
Pasal 117 KHI
Talak adalah ikrar suami dihadapan siding Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusanya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131 KHI.
Pasal 118 KHI
Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selam istri dalam masa iddah.
Pasal 119 KHI
(1)  Talak ba’in sugra’ adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
(2)  Talak ba’in sugra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah.
a.    Talak yang terjadi qabla al-dukhul;
b.    Talak dengan tebbusan atau khulu’;
c.    Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120 KHI
Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kelinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddahnya.
Pasal 121 KHI
Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.


Pasal 122 KHI
Talak bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123 KHI
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang pengadilan.
Pasal 124 KHI
Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.
Pasal 125 KHI
Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.
Pasal
Pasal 126 KHI
Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan/atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut.
2.    Akibat Putusnya Perkawinan
Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, padat dikelompokkan menjadi 5 karakteristik, yaitu sebagai berikut:
a.    Akibat Talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibaat hokum berdasarkan Pasal 149 KHI.

b.    Akibat Perceraian (Cerai Gugat)
Cerai gugat, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan.
c.    Akibat Khulu’
Perceraian yang terjadi akibat khulu’ yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161 KHI yang berbunyi: “Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.”
d.    Akibat Li’an
Perceraian yang terjadi sebagai akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum sebagai berikut :
Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbatas dari kewajiban memberi nafkah.
Hal itu, berdasrkan hadist Nabi Muhammad sebagi berikut.
Sesungguhnya Nabi SAW menyaksikan li’an antara seorang laki-laki dan istrinya, maka laki-laki itu tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya itu, maka beliau memisahkan diantara keduannya dan menghubungkan nasab anak kepada ibunya. (Riwayat Bukhari).
e.      Akibat Ditinggal Mati Suami.
Kalau ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka istri menjalani masa iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya. Karena itu, Pasal 157 KHI: harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96 dan 97.
Pasal 96 KHI
(1)  Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
(2)  Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

B.   Tata Cara Perceraian
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamiaan dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Percerana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.
Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau perlaku yagn mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut:



1.    Cerai Talak (suami yang bermohon untuk bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujuinya disebut cerai talak.
Sesudah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 68 UUPA dan Pasal 131 KHI
2.    Cerai Gugat (Istri yang bermohon untuk bercerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu, khulu’ seperti yang diuraikan pada sebab-sebab putusnya ikatan perkawinan termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaanistri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya.

C.   Masa Iddah (Waktu Tunggu)
Masa Iddah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri (qabla dukhul), tidak mempunyai masa iddah. Hal tersebut berdasarkan Firman Allah Surat Al-Azzab ayat 49 sebagai berikut:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ
   Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
Ayat diatas, menjadi dasar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 153 KHI, yakni sebagai berikut.
Pasal 11 UUP
(1)  Bagi seorang wanita yang putus perkawinanya berlaku jangka waktu tunggu
(2)  Tengang waktu/jangka waktu tersebtu ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Pengklasifikasi masa iddah dimaksud, akan diuraikan sebagai berikut :
1.    Putus perkawinan karena ditinggal mati suami
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari (pasal 39 ayat (1) huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 135 KHI). Ketetapan ini, berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lian halnya, bila istri dalam keadaan hamil, waktu tunggunya adalah sampai ia melahirkan.
2.    Putus perkawinan karena perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya, maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu, yaitu sebagai berikut.
a.    Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadan hamil maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.


b.    Dalam keadaan tidak hamil
1.    Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku baginya masa iddah.
2.    Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):
a.    Bagi seorang istri yang masih dating bulan (haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
b.    Bagi seorang istri yang tidak dating bulan (tidak haid) masa iddahnya tiga bulan atau 90 hari.
c.    Bagi seorang istri yang pernah haid, namun ketika menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.
d.    Dalam keadaan yang disebut pada ayat (5) KHI bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahu, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhai kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
3.    Putus perkawinan karena khulu’, fasakh, dan li’an
4.    Istri ditalak raj’I kemudian ditinggal mati suami dalam masa iddah

D.   Rujuk Pengertian dan Tata Caranya
1.    Pengetian rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminology adalah kembalinya suami kepada hubungan nikan dengan istri masih dalam masa iddah.




2.    Tata cara rujuk
Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam pasal 23, 33, 34 dan 38 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Prundang-undangan Perkawinan bagi yang beragama Islam.

E.   Saksi Pidana dalam Hukum Perkawinan.
Sanksi pidana dalam hokum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak tertentu yang melanggar hokum perkawinan. Sanksi pidana diatur dalam pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

1.    Jenis pelanggaran calon mempelai
Calon mempelai yang diketahui dan terbukti melakukan pelanggaran terhapap pasal 3, 10 dan 40 akan diancam pidanan denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-
2.    Jenis pelanggaran pegawai pencatat nikah.
Pegawai pencatat nikah bila terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum perkawinan akan dijatuhkan sanksi dalam bentuk kurungan selama 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-.
3.    Kategori tindakan pidana
Kategori tindakan pidana dalam hokum perkawinan disebut jarimah ta’zir dalam hokum fikih. Ta’zir adalah pelanggaran yang tidak ditentukan hukumannya secara rinci didalam Al-qur’an dan al-hadist, melaikan hakim yang memutuskan berdasarkan nilai-nilai hokum yang belaka dalam masyarakat.



F.    Perkawinan Antara (Pemeluk) Agama Dan Status Kewarganegaraan Yang Berbeda
1.    Pekawinan antar pemeluk agama
Perkawinan antar pemeluk agama (pria yang beragama islam dengan wanita yang beragama selain islam atau sebaliknya) tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Baik dalam UU Nomor 1 tahun 1974, UU No 7 Tahun 1989, maupun dalam Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991. Namun demikian, Kompilasi Hukum Islam mengungkapkan larangan terhadap orang Islam mengawini orang yang tidak beragama Islam yang diatur dalam pasal 40 dan 44 KHI.
Pasal 40 KHI
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a.    Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b.    Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c.    Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 44 KHI
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yagn tidak beragama Islam.
Pasal 40 dan 44 KHI tersebut, secara rinci mengatur larangan perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda sehingga dapat dipahami bahwa bila terjadi perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda berarti perkawinannya tidak sah. Pekawinan yang tidak sah akibat hukumnya bila melahirkan anak berarti anak yang tidak sah.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Putus ikatan bisa berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan mengagap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamiaan dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian.
Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri (qabla dukhul), tidak mempunyai masa iddah.
Sanksi pidana dalam hokum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak tertentu yang melanggar hokum perkawinan. Sanksi pidana diatur dalam pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

B.   SARAN
Dalam penyajian makalah kami ini, tentu rekan-rekan “pembaca khususnya mahasiswa belum begitu memahami atau kurang merasa sempurna atas penyajian kami, hal itu dikarenakan keterbatasan kami untuk itu kami mohon kesediaan dosen pembimbing menambah serta menutupi kelemahan itu, selain itu adanya kritik / saran dari rekan-rekan” pasti menghasilkan inovasi pada makalah berikutnya.


                                                    DAFTAR PUSTAKA


Ø  Ali, Zainuddin, 2006, hukum perdata islam Indonesia, Jakarta: sinar grafika.
Ø  Amiur Nuruddin, 2004,hokum perdata islam Indonesia, Rawa mangun Jakarta, kencana prenada media group.
























DAFTAR ISI


Kata Pengantar ....................................................................                       i
Daftar Isi ..............................................................................             ii
BAB I  Pendahuluan .............................................................                     1
BAB II Pembahasan

A.   Putus perkawinan………..……………………                       2
B.   Akibat putusnya Perkawinan.…..…………….                      3
C.   Tata cara perceraian………………………….                        5
D.   Masa iddah……………………………………..                       8
E.   Rujuk dan tata caranya……………………………….           10

BAB III Penutup .....................................................................                     13

Kesimpulan                                        
Saran

Daftar Pustaka ........................................................................                    14
















KATA PENGANTAR

Assalammualaikum wr.wb.
            Alhamdulillah, Puji syukur patut kita ungkapkan kehadirat Allah SWT, karena atas izinnya dan rahmat hidayah Nya yang dilimpahkannya kepada kita semua. Alhamdulillah penyusun makalah yang berjudul “ Putus Perkawinan Tata Cara Perceraian dan Masa Iddah ”  ini dapat kami selesaikan tepat pada tenggang waktu yang diberikan oleh dosen pembimbing.
            Dalam menyingkapi permasalahan yang terdapat didalam makalah ini, terutama kami sebagai pemakalah belum begitu sempurna menguraikan isi yang ada didalam makalah ini, untuk itu penting adanya harapan kami memohon kepada dosen pembimbing untuk menambah serta meluruskannya agar tidak terjadi kekeliruan bagi para rekan pembaca.
Selanjutnya ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian tugas ini, dan juga kepada rekan mahasiswa yang turut mendukung dalam penyelesaian tugas kami.
           

Bangko , 24 Mei  2012

      Penyusun


Tidak ada komentar:

Posting Komentar