PUTUS PERKAWINAN, TATA CARA
PERCERAIAN DAN MASA IDDAH
di susun oleh : MUJIMAN
STAI SMQ Bangko
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sunnatullah
pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya, manusia, hewan maupun
tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” -QS adz
Dzariyat ayat 49-. Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan
berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan
posisi masing-masing.
Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah
tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya, karena Allah telah menjadikannya
sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar
daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada
isterinya.
Perceraian dalam hokum Islam
adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT.
Putus ikatan bisa berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia,
antara pria dengan wanita sudah bercerai dan salah seorang diantara keduanya
pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan
mengagap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu kita
akan membahas bagaimana tata cara perceraian dan dampaknya.
BAB
II
PEMBAHASA
PUTUS
PERKAWINAN, TATA CARA
PERCERAIAN
DAN MASA IDDAH
A.
Putus
Perkawinan (Karena Kematian, Perceraian Dan Putus Pengadilan) Serta
Akibat-Akibatnya
1. Putus Perkawinan
Putus
perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang diantara keduanya
meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai dan salah seorang
diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya
sehingga pengadilan mengagap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan perkawinan suami istri sudah putus
atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh
tali perkawinan.
Perceraian dalam hokum Islam adalah sesuatu perbuatan
halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadis Nabi
Muhammad SAW, sebagai berikut.
Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah
adalah talak/perceraian. (Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah dan Al-Hakim).
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan teknisnya
diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.
Pasal
38 UU Perkawinan
Perkawinan
dapat putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas
keputusan pengadilan
Pasal
39 UU Perkawinan
(1) Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk
melakukan perceraan harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak
dapat hidup rukun suami istri.
(3) Tata
cara perceraian didapan siding pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.
Pasal
40 UU Perkawinan
(1) Gugat
perceraian diajukan kepada pengadilan
(2) Tata
cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri
Selain rumusan hukum dalam undang-undang Perkawinan tersebut, Pasal 113
sampai dengan Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai
sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara dan akibat hukumnya. Sebagai
contoh Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 113
KHI sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 114 mengenai putusnya
perkawinan yang disebabkan oleh percaraian maka dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 KHI mempertegaskan bunyi Pasal 39
Undang-Undang Perkawinan yang sesuai dengan siding Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
Selain itu, KHI
juga menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan denganperceraian dan akibat
hukumnya, termasuk yang berkaitan dengan teknis pelaksanaannya agar tidak
perceraian itu dilakukan sesuai dengan hukum Islam.
Pasal
117 KHI
Talak
adalah ikrar suami dihadapan siding Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusanya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,
130 dan 131 KHI.
Pasal
118 KHI
Talak
Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selam istri
dalam masa iddah.
Pasal
119 KHI
(1) Talak
ba’in sugra’ adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
(2) Talak
ba’in sugra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah.
a. Talak
yang terjadi qabla al-dukhul;
b. Talak
dengan tebbusan atau khulu’;
c. Talak
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal
120 KHI
Talak ba’in kubra adalah talak yang
terjadi untuk ketiga kelinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak
dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah
bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da
dukhul dan habis masa iddahnya.
Pasal
121 KHI
Talak sunni adalah talak yang
dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan
tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122 KHI
Talak bid’I adalah talak yang dilarang,
yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri
dalam keadaan suci tapi dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123 KHI
Perceraian itu terjadi terhitung pada
saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang pengadilan.
Pasal 124 KHI
Khuluk harus berdasarkan atas alasan
perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.
Pasal 125 KHI
Li’an menyebabkan putusnya perkawinan
antara suami istri untuk selama-lamanya.
Pasal
Pasal
126 KHI
Li’an
terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan/atau mengingkari anak dalam
kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan
dan/atau pengingkaran tersebut.
2. Akibat Putusnya Perkawinan
Akibat
hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan
seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam
Undang-Undang Perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI Putusnya ikatan
perkawinan dimaksud, padat dikelompokkan menjadi 5 karakteristik, yaitu sebagai
berikut:
a. Akibat
Talak
Ikatan perkawinan yang putus karena
suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibaat hokum berdasarkan Pasal 149
KHI.
b. Akibat
Perceraian (Cerai Gugat)
Cerai gugat, yaitu seorang istri
menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak
pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat
(istri) dengan tergugat (suami) perkawinan.
c. Akibat
Khulu’
Perceraian yang terjadi akibat khulu’
yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan
hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu’
adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan
atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’
adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak
dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161 KHI yang berbunyi: “Perceraian
dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.”
d. Akibat
Li’an
Perceraian yang terjadi sebagai akibat
li’an, yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya
perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu
anak) sebagai akibat li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum sebagai
berikut :
Bilamana li’an terjadi maka perkawinan
itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya,
sedangkan suaminya terbatas dari kewajiban memberi nafkah.
Hal itu, berdasrkan hadist Nabi Muhammad
sebagi berikut.
Sesungguhnya
Nabi SAW menyaksikan li’an antara seorang laki-laki dan istrinya, maka
laki-laki itu tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya itu, maka beliau
memisahkan diantara keduannya dan menghubungkan nasab anak kepada ibunya. (Riwayat
Bukhari).
e. Akibat
Ditinggal Mati Suami.
Kalau ikatan perkawinan putus sebagai
akibat meninggalnya suami, maka istri menjalani masa iddah dan bertanggung
jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan
dari suaminya. Karena itu, Pasal 157 KHI: harta bersama dibagi menurut
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96 dan 97.
Pasal 96 KHI
(1) Apabila
terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama
(2) Pembagian
harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang,
harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
B.
Tata
Cara Perceraian
Perceraian dalam
ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila
sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamiaan dan
kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau
tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Percerana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.
Tata cara perceraian
bila dilihat dari aspek subjek hukum atau perlaku yagn mengawali terjadinya
perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut:
1.
Cerai Talak (suami yang bermohon untuk
bercerai)
Apabila
suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan istrinya,
kemudian sang istri menyetujuinya disebut cerai talak.
Sesudah
permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan Agama melakukan
pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan
tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 68 UUPA dan Pasal 131 KHI
2.
Cerai Gugat (Istri yang bermohon untuk
bercerai)
Cerai
gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang
diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami)
menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh
karena itu, khulu’ seperti yang diuraikan pada sebab-sebab putusnya ikatan
perkawinan termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas
permintaanistri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas
persetujuan suaminya.
C.
Masa
Iddah (Waktu Tunggu)
Masa Iddah (waktu
tunggu) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus
karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah
tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain
halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri (qabla dukhul), tidak
mempunyai masa iddah. Hal tersebut berdasarkan Firman Allah Surat Al-Azzab ayat
49 sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd ÇÍÒÈ
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
Ayat diatas, menjadi
dasar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 153 KHI, yakni
sebagai berikut.
Pasal 11 UUP
(1) Bagi
seorang wanita yang putus perkawinanya berlaku jangka waktu tunggu
(2) Tengang
waktu/jangka waktu tersebtu ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah
lebih lanjut.
Pengklasifikasi
masa iddah dimaksud, akan diuraikan sebagai berikut :
1. Putus
perkawinan karena ditinggal mati suami
Apabila
perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari (pasal 39
ayat (1) huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 135 KHI). Ketetapan ini,
berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lian
halnya, bila istri dalam keadaan hamil, waktu tunggunya adalah sampai ia
melahirkan.
2. Putus
perkawinan karena perceraian
Seorang
istri yang diceraikan oleh suaminya, maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu
tunggu, yaitu sebagai berikut.
a.
Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri
diceraikan oleh suaminya dalam keadan hamil maka iddahnya sampai ia melahirkan
kandungannya.
b.
Dalam keadaan tidak hamil
1.
Apabila seorang istri diceraikan oleh
suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku baginya masa
iddah.
2.
Apabila seorang istri diceraikan oleh
suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):
a.
Bagi seorang istri yang masih dating bulan
(haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari.
b.
Bagi seorang istri yang tidak dating bulan
(tidak haid) masa iddahnya tiga bulan atau 90 hari.
c.
Bagi seorang istri yang pernah haid, namun
ketika menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga
kali waktu suci.
d.
Dalam keadaan yang disebut pada ayat (5) KHI
bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahu, akan tetapi bila dalam
waktu satu tahun dimaksud ia berhai kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali
suci.
3.
Putus perkawinan karena khulu’, fasakh, dan
li’an
4.
Istri ditalak raj’I kemudian ditinggal mati
suami dalam masa iddah
D. Rujuk Pengertian dan Tata Caranya
1. Pengetian
rujuk
Rujuk
dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminology
adalah kembalinya suami kepada hubungan nikan dengan istri masih dalam masa
iddah.
2. Tata
cara rujuk
Tata
cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam pasal 23, 33, 34 dan 38 Peraturan
Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah
dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Prundang-undangan
Perkawinan bagi yang beragama Islam.
E. Saksi Pidana dalam Hukum Perkawinan.
Sanksi
pidana dalam hokum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak
tertentu yang melanggar hokum perkawinan. Sanksi pidana diatur dalam pasal 45
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
1. Jenis
pelanggaran calon mempelai
Calon
mempelai yang diketahui dan terbukti melakukan pelanggaran terhapap pasal 3, 10
dan 40 akan diancam pidanan denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-
2. Jenis
pelanggaran pegawai pencatat nikah.
Pegawai
pencatat nikah bila terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum perkawinan
akan dijatuhkan sanksi dalam bentuk kurungan selama 3 bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 7.500,-.
3. Kategori
tindakan pidana
Kategori
tindakan pidana dalam hokum perkawinan disebut jarimah ta’zir dalam hokum
fikih. Ta’zir adalah pelanggaran yang tidak ditentukan hukumannya secara rinci
didalam Al-qur’an dan al-hadist, melaikan hakim yang memutuskan berdasarkan
nilai-nilai hokum yang belaka dalam masyarakat.
F. Perkawinan Antara (Pemeluk) Agama Dan
Status Kewarganegaraan Yang Berbeda
1. Pekawinan
antar pemeluk agama
Perkawinan
antar pemeluk agama (pria yang beragama islam dengan wanita yang beragama
selain islam atau sebaliknya) tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Baik dalam UU Nomor 1 tahun 1974, UU No 7 Tahun 1989, maupun
dalam Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991. Namun demikian, Kompilasi Hukum Islam
mengungkapkan larangan terhadap orang Islam mengawini orang yang tidak beragama
Islam yang diatur dalam pasal 40 dan 44 KHI.
Pasal
40 KHI
Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu:
a.
Karena wanita yang bersangkutan masih terikat
satu perkawinan dengan pria lain;
b.
Seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain;
c.
Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 44 KHI
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yagn tidak beragama Islam.
Pasal 40 dan 44 KHI tersebut, secara rinci mengatur
larangan perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda sehingga dapat dipahami
bahwa bila terjadi perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda berarti
perkawinannya tidak sah. Pekawinan yang tidak sah akibat hukumnya bila
melahirkan anak berarti anak yang tidak sah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Putus ikatan bisa berarti
salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita
sudah bercerai dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh
kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan mengagap bahwa yang
bersangkutan sudah meninggal.
Perceraian dalam ikatan
perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah
ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamiaan dan kebahagiaan,
namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai
sehingga yang terjadi adalah perceraian.
Masa iddah tersebut, hanya
berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila
istri belum melakukan hubungan suami istri (qabla dukhul), tidak mempunyai masa
iddah.
Sanksi pidana dalam hokum
perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak tertentu yang
melanggar hokum perkawinan. Sanksi pidana diatur dalam pasal 45 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
B.
SARAN
Dalam
penyajian makalah kami ini, tentu rekan-rekan “pembaca khususnya mahasiswa
belum begitu memahami atau kurang merasa sempurna atas penyajian kami, hal itu
dikarenakan keterbatasan kami untuk itu kami mohon kesediaan dosen pembimbing
menambah serta menutupi kelemahan itu, selain itu adanya kritik / saran dari
rekan-rekan” pasti menghasilkan inovasi pada makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Ali, Zainuddin, 2006, hukum perdata islam Indonesia, Jakarta:
sinar grafika.
Ø Amiur Nuruddin, 2004,hokum perdata
islam Indonesia, Rawa mangun Jakarta, kencana prenada media group.
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar .................................................................... i
Daftar Isi
.............................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
............................................................. 1
BAB II Pembahasan
A. Putus perkawinan………..…………………… 2
B.
Akibat
putusnya Perkawinan.…..……………. 3
C.
Tata cara
perceraian…………………………. 5
D.
Masa
iddah…………………………………….. 8
E.
Rujuk dan tata caranya………………………………. 10
BAB III Penutup
..................................................................... 13
Kesimpulan
Saran
Daftar
Pustaka ........................................................................ 14
KATA
PENGANTAR
Assalammualaikum wr.wb.
Alhamdulillah,
Puji syukur patut kita ungkapkan kehadirat Allah SWT, karena atas izinnya dan
rahmat hidayah Nya yang dilimpahkannya kepada kita semua. Alhamdulillah
penyusun makalah yang berjudul “ Putus Perkawinan Tata Cara Perceraian dan Masa
Iddah ” ini dapat kami selesaikan tepat
pada tenggang waktu yang diberikan oleh dosen pembimbing.
Dalam
menyingkapi permasalahan yang terdapat didalam makalah ini, terutama kami
sebagai pemakalah belum begitu sempurna menguraikan isi yang ada didalam
makalah ini, untuk itu penting adanya harapan kami memohon kepada dosen
pembimbing untuk menambah serta meluruskannya agar tidak terjadi kekeliruan
bagi para rekan pembaca.
Selanjutnya ucapan terima
kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian
tugas ini, dan juga kepada rekan mahasiswa yang turut mendukung dalam
penyelesaian tugas kami.
Bangko
, 24 Mei 2012
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar